Chapter 6 | Why am I?

25.5K 1.7K 10
                                    

"Aku ingin, kau menikah denganku."

Fatimah terbelak. Dia, menatap tak percaya pada pria di hadapannya. Hello, siapa dia yang dengan berani mengajak Fatimah menikah bahkan ketika mereka berdua saja baru bertemu. Pria di hadapannya ini, terlalu berani mengajak Fatimah yang bahkan masih belia menikah.

Ah? Belia?

Fatimah meringis pelan. Bahkan, dulu kedua orang tuanya menikah di usia mereka yang jauh lebih mudah dari Fatimah. Tidak jauh juga sih, saat itu Bunda berusia 17 tahun, sedangkan sudah cukup matang sih, menikah dengan Bunda pada usia 26 tahun. Tapi kan, beda mental anak sekarang dan anak dulu itu terletak pada kesiapan. Dulu boleh orang berbondong-bondong menikah muda, karena kebanyakan orang jaman dulu memiliki postor tubuh yang menyerupai orang dewasa, prilakunya juga jauh berbeda dengan remaja sekarang, terlebih ketika bekerja di dapur, terlihat jelas perbedaannya. Walaupun ada baiknya juga dengan menikah muda, karena hal itu sama saja dengan menghindarkan diri dari zina. Ya, sekarang juga banyak yang menikah di usia muda. Mungkin karena mereka memang siap. Seperti anak dari KH Arifin Ilham yang menikah muda dengan gadis Muallaf keturunan Tionghoa. Mungkin mereka berdua sudah siap, makanya menikah muda. Tapi model seperti Fatimah sih, jauh dari kata siap.

Dan lagi, tidak sedikit pasangan yang menikah muda kemudian bercerai. Contohnya saja seperti salah satu Hafidz Qur'an yang sedang melanjutkan pendidikannya di al Azhar yang menikahi salah satu anak pengacara. Mereka berdua menikah muda lantaran berkenalan di sosial media, tapi pada akhirnya berita tentang perpisahan mereka tersebar luas di media.

Ok, sepertinya Fatimah terlalu banyak berpidato.

"Aku tidak mau," jawab Fatimah sinis.

Kean, mengangkatkan sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Menikah muda bukan keinginanku. Dan lagi, aku punya banyak mimpi yang belum aku capai, dan mungkin tidak bisa aku capai jika aku menikah," jawab Fatimah mengutarakan isi hatinya.

Kean tak bersuara dan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku tidak akan menghalangimu untuk meraih mimpi kalau kau ingin tahu, dan ngomong-ngomong, uang gajimu untuk lima bulan ke depan itu, aku sudah menahannya. Jadi, tidak ada yang bisa memberikan uang itu padamu, jika tanpa sepengetahuan dan seizinku," jawabnya santai.

Mendengar itu, Fatimah mulai mengerang. "Kau ini, memangnya siapa kau berani-beraninya menahan uang kasbonku?" tanya Fatimah.

Kean hanya mengangkatkan bahunya acuh, dan kemudian bangkit. "Baiklah, aku beri kau waktu dua hari untuk memikirkan tawaranku," kata Kean sambil berjalan perlahan meninggalkan Fatimah.

Fatimah diam, ia menatap kepergian Kean dengan wajah gondok. Demi apapun, pria dewasa itu baru saja memberinya tawaran untuk menikah? Dan dia mengangancam tidak akan memberikan uang kasbon Fatimah, jika Fatimah tidak mau menerima tawarannya? Fatimah meradang, memang ia pikir hal yang menyangkut pernikahan, segampang itu?

"Oyah, jika kau takut pulang sendirian, aku bisa menawarkan tumpangan untukmu, ini sudah tengah malam, gadis sepertimu sangat rawan jika pulang sendirian," ucap Kean yang kini berdiri di ambang pintu dengan posisi membelakangi Fatimah. Kedua tangannya, ia masukkan ke dalam saku celana hitamnya.

Fatimah menggeleng yakin. "Tidak, terima kasih, aku bisa pulang sendiri," jawab Fatimah.

Mendengar itu, Kean tersenyum tipis kemudian mengangguk. "Baiklah, aku hanya ingin memberi informasi saja, jika di depan ada segerombolan preman yang sedang menunggu target mereka keluar dari sini," jawab Kean sambil melenggang pergi.

Pure Love [Sudah Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang