Chapter 2 | Keanu Matthew Steward

29.7K 1.7K 18
                                    

PRAY!!

"Kenapa uangnya kurang? Kau pikir membayar biaya kuliah kedua Kakakmu semurah ini hah?!"

Fatimah menggeleng pelan. Ia menatap takut pada Kakeknya yang sedang menatap murka ke arahnya. "Maaf Kek, Fatimah hanya punya itu," jawab Fatimah takut.

Daren, yang merupakan Kakek Fatimah mengerang marah. Pria berambut putih itu, sudah mengangkat tangan kanannya berniat untuk kembali memukul Fatimah.

Fatimah menundukkan kepalanya sambil menutup paksa kedua matanya. Ia sudah siap, jika Kakek kembali memukulnya. Toh, ini juga salahnya yang tidak bisa mengumpulkan uang untuk membayar biaya kuliah Kakaknya. Walaupun dalam hati Fatimah meringis dan dengan kuat melawan keinginannya untuk kuliah demi bekerja dan membiayai kedua Kakaknya kuliah. Tak apa bagi Fatimah, dibiarkan untuk tetap tinggal di rumah ini pun sudah lebih cukup untuk Fatimah.

"Aku beri kau waktu dua hari. Sisa uangnya harus sudah ada dalam jangka waktu dua hari, kalau tidak ada, bersiaplah untuk angkat kaki dari rumah ini," Daren berucap dingin, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Fatimah.

Setelah kepergian Kakeknya, tubuh Fatimah luruh seketika. Fatimah, dengan kencang meremas ujung kerudungnya sambil berusaha mati-matian menahan tangisnya. Entah apa yang harus ia lakukan, mencari uang sepuluh juta dalam jangka waktu dua hari bukanlah perkara mudah bagi Fatimah. Terlebih, ia hanya bekerja sebagai seorang pelayan di restoran yang bahkan, gaji setiap bulannya saja tidak sebesar itu.

Ah, jika seperti ini Fatimah suka berandai-andai. Andai saja kedua orang tuanya masih ada, pasti ia tidak akan mengalami hal yang seperti ini. Menjadi tulang punggung keluarga yang bahkan memiliki beban jauh di atas gadis seumurannya. Fatimah bahkan rela menunda atau bahkan membuang jauh-jauh mimipinya untuk berkuliah hanya untuk bekerja demi membiayai kedua Kakaknya kuliah. Semua orang yang ada di rumah ini, mengandalkan dirinya untuk mendapatkan apa yang mereka mau, sedangkan Fatimah justru harus berusaha mati-matian bekerja untuk mencukupi apa yang mereka mau.

Fatimah memegang kepalanya, memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Ia masih ingat betul jika ia belum membayar tunggakkan kuliah kedua Kakaknya selama beberapa bulan terakhir. Bukan karena ia tidak bekerja, tapi karena uang yang dihasilkannya tidak mencukupi untuk membayar semua itu. Terlebih, bulan kemarin ia harus menggunakan gajinya untuk membelikan ponsel pintar yang Kakaknya minta. Setiap bulannya, Fatimah bahkan harus terus menerus menghabiskan uang yang dihasilkannya guna memenuhi keinginan kedua Kakak dan juga Kakeknya. Sedangkan ia sendiri? Fatimah bahkan tak memiliki uang lebih yang bisa ia gunakan untuk sekedar membeli mukena baru yang menggantikan mukena Fatimah yang sudah robek di beberapa bagian.

"Ayah, Bunda, apa yang harus Fatimah lakukan?" tanya Fatimah lirih. Kemudian, dengan perlahan, Fatimah bangkit menuju kamarnya yang berada di lantai bawah rumah kayu yang di tempatinya. Fatimah membuka pintu yang menghantarkannya pada kamar sederhana miliknya, kemudian masuk ke dalam sana, dan mengambil tas hitam kumuh miliknya, kemudian ia juga mengambil kaos kaki berwarna hitam, dan memakainya.

Fatimah hendak memasangkan kaos kaki hitam itu ke kakinya, namun urung saat satu jari tangannya terlihat keluar dari kaos kaki itu. Kaos kaki milik Fatimah bolong.

Fatimah hanya menghela napas pelan. Tak menghiraukan itu, akhirnya Fatimah memakai kaos kaki bolong miliknya. "Biarlah kaos kaki ini menjadi saksi di hadapan Allah pada hari kiamat nanti, bahwa aku sudah bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluargaku. InsyaAllah ini juga termasuk jihadku di jalan-Nya," gumam Fatimah berusaha menyemangati dirinya.

Pure Love [Sudah Diterbitkan]Where stories live. Discover now