Nona Merah Muda || 08 - The Same Thing and Taste of Paris

29 5 10
                                    

Kelima jemari tangannya masih setia menggenggam tumpukan selembaran iklan yang didekap di dada. Sedang kelima lainnya lagi sibuk menyodorkan salah satu sampel dari selembaran yang sama pada pengunjung yang berseliweran. Bibir tipisnya tak henti mengulas senyum demi mendapat simpatik.

Jika ada pengunjung yang berhenti, mulutnya dengan cepat menjelaskan secara lugas dan jelas. Peluh yang menetes dari dahi juga pelipis, bukan hal penting untuknya saat ini. Haus dahaga pun sempat ia abaikan demi bonus dan bayaran tambahan.

Merasa lelah, ia sedikit menyeka peluh. Lalu berhenti sejenak dari aktivitas di bawah mentari musim semi, meneduh. Netra biru lautnya memandang berkeliling. Menikmati keramaian yang sedang berlangsung.

Tenda-tenda putih khas stand acara yang berdiri kokoh, tumpah-ruah beragam manusia yang antusias, mata-mata yang menatap takjub pada atraksi dari beberapa koki yang sengaja live cooking, musik beraliran jazz yang serasi dengan suasana. Semua yang sedang berlangsung mampu membuat seulas senyuman tipis terbit lebih lebar lagi di bibir tipisnya.

"Hari baru,"— ia menghela napas, sambil sekali lagi mengusir peluh– " tidak boleh lesu dan harus lebih bersemangat. Demi new baby piggy, mari kembali bekerja!"

Manda melanjutkan kegiatannya setelah berhasil menyemangati dirinya yang sempat lelah tadi.

"Selamat siang, Nona...," sapanya ramah dalam bahasa Perancis yang fasih serta logat yang sempurna.

"Hari ini kita sedang mengadakan banyak promo, lho! Dari menu apptizer, maincourse, sampai ke menu dessert yang manis dan segar pun ada."

Sang lawan bicara hanya melihat selembaran yang Manda tawari. Sembari mengangguk-angguk seolah paham akan semua penjelasannya.

"Kita juga memiliki penawaran cashback jika Nona melakukan transaksi dengan kartu La Belles de Paris. Cashback-nya hingga 35%."

Wanita berambut sebahu dengan jemari tangan yang kini memiliki dua fungsi— mendekap selembaran dan memeganginya ke arah pengunjung– itu menjelaskan dengan intonasi dan mimik wajah seramah mungkin. Bekerja di bidang penjualan tidak mudah, tidak juga sulit jika tau kuncinya. Dan bagi Manda, kunci itu cukup tersenyum ramah dalam kondisi apapun.

Meskipun pelanggan atau calon pelanggan menyebalkan, senyum harus tetap diterbitkan. Layaknya Manda yang baru saja ditolak lagi oleh calon pelanggannya, ia tetap tersenyum, sabar. Wanita paruh baya yang ia tawari tadi lebih tertarik untuk mencicipi makanan dari benua Asia daripada produk restorannya. Apa boleh buatlah.

Dengan helaan napas lelah, Manda menyeret kakinya lebih maju ke tengah lapangan yang menjadi wadah diselenggarakannya acara pagi ini. Berharap bisa menemukan lebih banyak sasaran 'mangsa' di sana. Namun baru empat langkah, tubuhnya membeku kala kedua telinga menangkap suara yang memanggilnya akrab. Mulut Manda terkatup rapat dengan ritme jantung yang perlahan ikut berdebar tidak jelas. Ia terhenyak sesaat sebelum membalikkan badan.

"Jadi... selain menjadi penyiar radio yang sudah terkenal, kau juga jadi pramuniaga sebuah restoran, hm?"

Sebuah suara bariton itu sukses membuat Manda tersentak, kembali berdiri di tanah. Matanya yang tadi mendelik, kini mengerjap-ngerjap. Ia menelan ludahnya susah payah. Kemudian mencuri-curi oksigen agar bisa masuk bebas ke paru-parunya lagi.

"Ah, kau ini!" sahutnya riang beserta cengiran. Wanita pemanipulasi yang apik. "Selagi pekerjaan halal, tidak ada salahnya, bukan?"

Bola mata Manda memandang jauh ke belakang punggung Daisuke. Pandangannya berkeliling mencari sesuatu. "Kau tidak datang bersama adikku?"

DAME ROSE #WYSCWPDOù les histoires vivent. Découvrez maintenant