Nona Merah Muda || 13 - Mauvais Coeur

24 2 0
                                    

Ya, aku tunggu di tempat biasa.

Berbekal pesan singkat yang terdiri dari beberapa kata itu, Juliette melupakan semua rasa kesalnya pada Daisuke Isyihara. Ia kini lebih senang mengatakan jika sudah tak sabar akan bertemu dengan pria itu secepatnya.

Benar kata orang, jatuh cinta sama saja dengan merelakan diri bersedia memberi maaf tanpa diminta pada orang yang membuat kita jatuh dan merasakan cinta. Sayangnya, khalayak ramai sering mengartikan hal ini ke dalam definisi 'menjadi bodoh'. Padahal menurut mereka yang sedang dilanda cinta, hanya kata maaf saja bukan apa-apa. Mencintai artinya menerima, begitu aturan yang masih berlaku dari dulu hingga hari ini. Sehingga untuk menerima, kata maaf tanpa diminta bukan sesuatu yang sukar.

Berbicara perihal cinta, emosi jiwa yang bersifat ilusi itu sebenarnya tidak rumit. Hanya kadang kala egolah membuatnya lebih dari kata rumit. Sama seperti yang sedang dialami Juliette, jika saja sejak setahun yang lalu dia berani mengatakan hatinya telah dicuri oleh Daisuke pada pria itu, mungkin hari ini dirinya tidak akan terjebak dalam ikatan pertemanan yang justru menurutnya lebih dari teman seharusnya. Memang ada teman saling mencium satu sama lain?

"Kau datang sendiri?"

Sebuah suara bariton yang sangat familiar di telinganya, terdengar menyambut Juliette. Menciptakan senyuman bahagia di bibir yang kini merekah malu-malu. Dasar budak cinta!

"Memangnya aku harus datang dengan siapa ke mari?"

Juliette menarik salah satu kursi di depan Daisuke, lalu mendudukkan bokongnya dengan apik di sana. Namun sebenarnya hatinya tidak tenang. Masih sama perkara yang mengusik; apa sebenarnya yang telah terjadi antara Daisuke dan Manda. Dan berkat gemuruh dalam pikirannya sendiri, bibir yang tadi mengembang kini terkatup rapat.

"Aku kira kau akan membawa ... mungkin kameramu?" Daisuke berbasa-basi untuk mengelak lidahnya agar tidak menanyakan keberadaan Manda secara langsung.

"Kamera?" Juliette mengerutkan alisnya hampir menyatu. "Untuk apa?"

Daisuke bukannya menjawab, malah melempar senyum pada balik punggung Juliette. Senyuman ramah yang manis, apalagi ditambah dengan lesung pipit yang timbul karenanya.

Menyingkirkan rasa dongkol yang sempat hadir karena pemikiran, Juliette sebenarnya juga penasaran. Ia memutuskan ikut memutar badan mengarah pada tujuan mata Daisuke. Dan detik itu juga, rasanya Juliette terbang ke langit ke tujuh. Jantungnya berdebar tak menentu, perutnya pun perlahan serasa mulas seperti dipenuhi banyak kupu-kupu khas orang yang sedang jatuh cinta.

Beberapa menit tercenung kagum, Juliette kembali memutarkan pandangannya ke arah Daisuke. Pandangan tidak percaya dan sarat akan penjelasan.

Pria yang dipandangi rupanya sudah berdiri di dekat kursi yang Juliette duduki.

"Karena hari ini ada kejutan ulang tahun yang terlambat dari aku, temanmu yang kurang ajar," bisik Daisuke rendah sembari merendahkan posisi tubuhnya agar berdekatan dengan telinga Juliette. Posisi mereka dekat, intens seperti biasa. "Selamat bertemu angka 23, Juliette White."

Jangan ditanya, sudah pasti senyuman bahagia kembali mengembang lebar di wajah Juliette. Tanpa perlu bantuan soda kue untuk pengembang pun, senyuman itu terpasang awet di sana. Terlebih ketika seluruh sudut kafe melantunkan lagu selamat ulang tahun khas Perancis. Rasanya mata Juliette saat ini sudah memanas, terharu. Begitu pula dengan wajahnya, ikut panas menahan malu.

Dasar cupid sialan, bisa-bisanya kau tembakkan panah cinta pada gadis pecinta monokrom ini sekarang? keluh Juliette dalam hati. Tanpa sadar, dalam senyumnya ia meringis.

Seakan belum cukup dengan banner, backsound juga beberapa pelayan yang memegang balon huruf yang membentuk nama Juliette di belakang meja mereka, kini ada satu cake cantik yang sedang berjalan menuju mereka. Jelas saja kue itu dibawakan oleh salah satu pelayan kafe lainnya. Ia tersenyum sopan sepanjang langkahnya mendekat.

Astaga, apa ini alasan Daisuke menghilang? Mungkin ini akan terdengar sedikit berlebihan, tapi Juliette merasa ini manis, sangat manis. Rasanya jiwa Juliette yang sedang dilanda tanda tanya besar lupa akan rasa penasarannya. Ia justru merasakan kehangatan.

"Ak-aku...." Juliette kehabisan kata-katanya. Ia tidak tau harus mengucapkan apa untuk kemanisan yang didapatnya hari ini.

"Aku sengaja tidak mengucapkan apa-apa padamu." Tatapan Daisuke bertemu pandang dengan manik abu-abu Juliette. Tepat pada maniknya. Sembari tersenyum pemuda itu melanjutkan, "Kata Manda, kau suka kejutan. And here am I."

Hilang sudah senyuman bahagia. Bibir yang awalnya mengembang lebar, seketika berkedut lalu membentuk garis lurus dan terkatup rapat. Hatinya yang berbunga, kembali terasa diiris tipis oleh silet semu. Berbanding terbalik dengan Daisuke, pria itu makin mengembangkan senyuman bangga di bibir tipisnya.

"Apa ada yang salah?"

***

Wajah semringah itu seketika berubah kaku saat Eliot— teman penyiarnya yang sedang membacakan surat pendengar– menyebutkan nama seseorang.

"Teruntuk dia..., wanita istimewaku, Diamanda Caleida." Terdapat jeda yang sepertinya disengaja oleh Eliot untuk memberi ruang agar mendukung suasana yang dramatis. Namun jeda itulah rupanya berhasil membuat jantung Manda porak-poranda tidak jelas. Siapa yang mengiriminya surat melalui radio tempatnya bekerja? Diamanda Caleida itu...nama lengkapnya!

"Aku selalu tertular senyumnya. Tertular tawa bahagianya. Bahkan saat ia hanya berdiam diri di tempat pun, seluruh perhatianku tertarik ke arahnya."

"Apa aku punya pengemar rahasia?" gumam Manda tanpa sadar. Tapi daun telinganya makin mempertajam pendengaran, seolah takut ia salah mendengar.

"Dia bukan wanita tercantik yang pernah aku temui. Bukan pula ratu bermahkota indah. Tapi anehnya, jiwaku selalu mencari dia saat tidak ada. Mataku yang biasa menatapnya seakan kehilangan pemandangan indah. Aku biasa dan terbiasa mendengar suaranya...namun kini hilang. Ditelan angin dan kesunyian."

Manda mengeryit penasaran. Otaknya berusaha mengingat sosok-sosok orang yang dekat dengannya atau sekadar pernah dekat.

"Tapi aku senang jika ia tetap senang. Tetap aman. Tidak mencuri-makan keju atau secuil escargot. Sebab hingga kini pun aku masih takut tiap kali alerginya kambuh, tiap kali napasnya sesak dan putus-putus. Aku tidak suka raut wajahnya yang menunjukkan kesakitan."

"Dia tau alergiku?" Alis Manda makin dalam bertautan. Namun sayang, otaknya tak berhasil menemukan jawaban yang ia butuh. Belum berhasil.

"Jika ada yang bilang hidup selalu memiliki sebab dan akibat, jatuh cinta padanya adalah satu-satunya kehidupan tanpa sebab-akibatku. Lucu..., padahal dia hanya wanita konyol yang tetap tertawa meski sering sekali terjatuh. Dia juga cuma wanita pecinta merah muda dan sakura. Tidak ada yang istimewa, bukan?" Eliot kembali memberi jeda beberapa detik setelah kalimat tanya yang tiba-tiba terasa menyebalkan bagi Manda. Sudah tau tidak ada istimewanya kenapa harus memujiku?! berang batinnya.

"Nahasnya, setiap kali tawa wanita konyol itu pecah, hatiku justru ikut jatuh padanya. Jatuh, sejatuh-jatuhnya."

Manda tidak tahan untuk tidak merubah posisi tengkurapnya menjadi duduk. "Siapa, sih? Sok puitis romantis gitu...."

"Aku tau,— entah kau mendengar atau malah yang membacakan tulisan ini– goresan tinta di kertasku tidak sebanding dengan goresan luka yang kutulis di hatimu. Aku hanya ingin mengatakan..., maafkan kebodohanku."

Seperti ada energi listrik yang mengalir, otak Manda seketika diterangi bohlam nyala. Dia tau siapa manusia pengirim surat itu. Dia tau. Dan semoga saja tidak salah orang.

***

Mudik...mudik....
Udah lama nggak nimbul rasanya. Berkat mudik, selain badan, mood juga ternyata bisa ia luluh-lantahkan. Ugh! Belum lagi akhir-akhir ini aku kebanyakan makan kue lebaran, oemji~

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK MANJA NAN NYATANYA YA.

NBd17, Bengkalis - Riau.
Minggu, 24 Juni 2018.
(Aku baru pulang mudik, mon maap lahir dan batin, ya semua!).

DAME ROSE #WYSCWPDWhere stories live. Discover now