Nona Merah Muda || 19 - Sympathie

18 1 0
                                    

Berangkat tiga hari sebelum musim dingin berakhir, maksudnya agar saat pergantian musim mereka semua sudah kembali fresh. Untuk Daisuke dan Brant sendiri, istirahat beberapa jam setelah penerbangan antarbenua sudah cukup menghilangkan efek samping jetlag-nya. Berbanding terbalik bagi Manda juga Juliette yang baru pertama kali terbang dengan destinasi terjauh selama hidup mereka. Istirahat dua hari rupanya terasa masih kurang. Walau demikian, hari ini ternyata tiba juga.

"Ready for today?"

Jujur saja, suara bariton barusan membuat Manda terperanjat. Untung ia tidak menjatuhkan ocha-nya karena kaget.

"Maaf mengangetkan," kata Brant disertai cengiran tidak enaknya.

"Tidak apa. Aku yang terlalu asik melamun. Lagi pula sudah pagi." Manda tersenyum maklum pada bosnya yang kini menumpukan tangan di pagar besi balkon apartemen.

"Hari ini sepertinya matahari bersinar lebih cerah." Brant memandang berkeliling, menikmati carakrawala jingga di pagi pertama sakura mulai bermekaran. Mengikuti kegiatan yang membuat Manda tadi melamun. "Pantas saja kau menyukai sakura di musim semi."

Manda menoleh. "Merah muda adalah warna yang menenangkan juga mampu mengubah mood seseorang menjadi bersemangat dan bahagia saat melihatnya. Sedangkan sakura adalah bunga yang melambangkan kehidupan. Dalam hidup ini semua memiliki kebalikannya— ada senang, ada sedih, ada bahagia, ada susah. Lantas bagaimana aku tidak akan menyukai kedua perpaduan itu?"

"Kenapa kau bisa berbicara seperti itu tentang sakura?"

"Karena sakura berbunga hanya setahun sekali. Di saat bunga-bunga lain bisa mekar sampai tiga atau bahkan empat kali, sakura cuma memiliki kesempatan satu kali untuk menunjukkan keindahannya. Saat sudah mekar, semua orang akan tau jika setelah gersang ada sesuatu yang indah menanti."

"Kurasa kau harus coba juga menjadi pengarang. Lumayan," saran Brant. Tapi sebenarnya dalam hati ia salut pada Manda. Pantas saja Daisuke tersihir pesona wanita ini.

"Astaga...." Manda menggeleng dramatis. "Kau adalah manusia kesekian yang menyuruhku menjadi pengarang. Aku tidak sedang mengarang, Brant. Aku hanya mengamati dan membuat analogi sendiri."

Brant mengangguk paham. "Analogi yang bagus, Nona."

"Kau bisa saja, Pak. Ah, iya. Wanna tea?" Manda menawari Brant teh hangat yang dijawab dengan gelengan.

"Setelah mengurung diri di kamar selama hampir dua hari, rupanya kau hanya menawariku teh. Sedih sekali," gumam Brant.

Benar. Setelah sampai di apartemen Daisuke, Manda memang tidak ke luar kamar. Yang ia lakukan hanya bermalas-malasan di kamar apartemen nyaman bersama Juliette. Terdengar seperti tidak tau diri sekali, ya? Tapi memang begitulah adanya. Kemarin kepalanya masih terasa pusing, begitu pula dengan perutnya yang mual. Manda rasa, ia tidak cocok menjadi orang kaya. Getaran pesawat selama kurang lebih 20 jam cukup menggetarkan seluruh saraf dan sendi-sendi.

"Sebenarnya aku kemarin mencari kalian. Tapi ternyata kalian sedang ke luar, ya?"

"Oh, maaf tidak mengabarimu. Daisuke bilang, dia tidak mau menganggu istirahat kalian. Well, itu kenapa kami cuma siapkan makanan delivery dari petugas housekeeping dan meninggalkan note di meja sofa."

Seakan mengerti, kepala Manda bereaksi. "Memangnya kalian pergi ke mana? Aku bahkan tidak tau jika ada note."

Manda mengeluarkan cengiran khas kudanya. Sedangkan Brant tersenyum simpul.

"Pantas note-nya masih ada di meja. Kami hanya mengunjungi Oba-san saja."

Alis Manda bergerak menekuk. "Oba-san?"

DAME ROSE #WYSCWPDWhere stories live. Discover now