Part 24

16 1 0
                                    


Hanya membutuhkan waktu satu jam lebih empat puluh menit saja untuk menuju Kota Padang. Ada perasaan canggung menyelubungi dirinya. Tadi tangannya sempat bersentuhan dengan pria yang menurutnya masih asing.
Bahkan sebelum lepas landas, sang supir pesawat sempat menemuinya. Special for Daisy. Beberapa orang mengerjapkan matanya tak percaya, mereka disuguhkan drama dalam cabin. Bahkan dayang-dayang pesawat juga sedikit iri melihatnya.

Daisy masih mengingat jelas aroma maskulin yang tadi berada disampingnya, memastikan keadaannya, hingga menyentuh puncak kepalanya. Tanpa sadar kedua tangannya saling bertautan, saling meremas dengan hati membuncah.

"Mbak, tadi pacarnya yang pilot itu ya. Sampe disamperin segala. Beruntung ya bisa satu pesawat gini. Apa mbak juga cabin crew?" rentetan pertanyaan dari penumpang sebelahnya tak dapat ia cerna satu persatu. Daisy masih berusaha menetralkan suasana jantungnya yang berpacu seperti orang marathon. Akhirnya Daisy memutuskan untuk mengisyaratkan jawaban tidak. Senyumnya kikuk "Bukan pak, itu temen aja. Kebetulan ketemu" sanggahnya.

"Temen beneran mbak, tapi kayaknya dia suka deh sama mbak. Keliataan dari memperlakuin mbak, manis banget." Daisy hanya menahan senyum. Lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Ia yakin pipinya kali ini sudah merona.

Senyumnya masih tetap merekah saat dirinya menuruni garbarata. Bahkan Daisy bisa terlihat salah tingkah. Daisy lupa dimana letak kacamatanya. Hanya dengan telapak tangan Daisy berhasil menutupi matanya dari silau matahari. Lalu seseorang berhasil menghentikan aktifitasnya. Alhasil Daisy menabrak dada bidang dibalut kemeja putih dengan wangi maskulin yang tadi sempat memabukkan selama satu jam empat puluh menit. Wajah Daisy langsung beralih pada sosok tinggi didepannya.

Daisy tak berani menatapnya, takut jika pria dihadapannya mengetahui salah tingkahnya. Walaupun tidak ada salahnya, gadis awalan 20 tahun itu merasakan kasmaran. Tapi Daisy yakin, ini hanya perasaan kagum. Tidak lebih.

"Mata kamu bisa sakit kalo dibiarin kena matahari langsung" Royan langsung menyematkan kacamata itu pada Daisy. "Hati-hati, salam buat temen kamu. Next semoga kita bisa ketemu lagi. See you" lanjutnya dengan senyum yang mampu membuat matahari menenggelamkan sinarnya saat itu juga. Menggantinya dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar akibat lonjakan hati yang tak tertahan. Hati Daisy sudah bergemuruh, semoga pria dihadapannya tidak mendengar degup jantung yang semakin menggila ini.

'Wahai semesta, aku rela terik matahari langsung mengenai tubuhku'

Tak ada yang melihat sorot kegugupan dari matanya, namun bibirnya berhasil mengembang sempurna ditambah pipinya merona seperti kepiting rebus. Itu saja sudah membuktikan jika dirinya sedang mabuk kepayang. Daisy yakin, dirinya menjadi mangsa bagi para wanita yang berjalan bersamanya atau bahkan yang melihatnya kejadian tadi.

Daisy sangat yakin gadis dengan wajah cemas menggunakan tunik berwarna ungu lavender itulah yang sedang menunggunya. Daisy membuka kacamatanya, lambaian tangan langsung menyambutnya. Dengan rentangan tangan yang menghadang, Daisy setengah berlari.

"Aku kangennn...." pelukan erat menyambut Daisy.

"Ambo jugo..." Daisy merubah logat bicaranya setelah tatapan mereka bertemu, gelak tawa menyambut keduanya.

Daisy langsung mencegah tangan seorang wanita paruh baya yang akan membawakan tasnya. "Nggak usah bi, saya bisa kok" ada tatapan canggung dari wanita tersebut mengarah ke Denia, sahabat Daisy. Denia hanya memberikan isyarat, seolah berkata 'Tidak apa-apa'. Wanita itu langsung mengangguk lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Tidur sama aku gak papa kan Sy. Aku kangen banget sama kamu" Denia sama sekali tak melepas cekalan tangannya.

"Dengan senang hati" Daisy menoel lembut dagu Denia.

Love and ObviousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang