Part 1

239 3 0
                                    

EDITED

Gadis itu tak pernah terlihat letih diwajahnya walaupun keringat sudah bercucuran melewati pelipis lalu ke pipi mulusnya hingga berakhir di dagu, setelah itu ia menyekanya.

Daisy Fortunita Dominique dia adalah gadis manis dengan segala kelebihan melekat pada dirinya. Tubuh gadis itu semampai, keproporsionalan membuat para model tanah air pun iri melihat lekuk tubuhnya.

Hari ini ia disibukkan dengan banyak pesanan pelanggan. Tangan Daisy sangat mahir untuk hal rajut-merajut seperti itu. Dia juga sangat pintar untuk mengkombinasi warna.

"Ibu bisa memasangkan kancing untuk pesanan itu nak" Anjani berjalan kearah Daisy dengan pandangan sedikit mengabur dan suara batuk yang terus menggema mengisi ruang tamu. "Tetaplah disitu bu, aku bisa kalau hanya menyelesaikan ini. Istirahatlah, aku tidak akan mengecewakan pelanggan ibu" terdengar meyakinkan namun setelahnya terdengar cekikikan dari bibir Daisy itu.

"Terimakasih nak" Anjani berjalan mendekat dan mengelus lembut punggung anaknya.

Daisy melihat rambutnya yang tadinya tergerai panjang, kini hanya sepanjang setengah lehernyanya saja. Dia tersenyum lembut melihat penampilan barunya. Daisy memasuki rumah yang bertuliskan "Dominique Rajut", dengan riangnya ia memasuki rumah dengan menenteng benang wol kualitas super itu. Senyumnya terus menguar disepanjang jalan, terlebih saat rambutnya bergerak sesuai pergerakan tubuhnya.

"Ibu, aku pulang" suaranya terdengar begitu riang. Anjani melihat tingkah dan gaya rambut baru anaknya merasa heran. Anjani segera keluar dan memapahnya di ambang pintu.

"Dimana rambut panjangmu? Bukankah dari dulu kamu sudah memeliharanya dengan susah payah?" Anjani terlihat bingung.

"Ibu, dengarlah cita-citaku bu. Aku ingin menjadi seperti ayah. Tolong ijinkan aku bu. Aku berjanji akan mendapat nilai yang terbaik. Aku juga berjanji akan menolong orang sakit semampuku seperti yang dulu ibu lakukan." Daisy menyatukan kedua tangannya memohon dan pintanya memelas.

"Tapi kamu harus ingat, hanya sekali saja kamu boleh mendaftar. Jika kau gagal, lakukan apa yang ibu mau" Daisy langsung mengangguk. Anjani semakin dibuat gemas oleh putrinya. Bagaimana mungkin Daisy selalu ingin menjadi seperti ayahnya? Padahal biasanya anak perempuan lebih dominan ke ibu untuk ke cita-cita.

Daisy mengeluarkan beberapa gulungan wol warna-warni, kancing lucu, dan beberapa jenis jarum baru dari dalam kantong tasnya. Dengan teliti Daisy menghitung sembari mengeluarkannya satu persatu.

"Lihatlah bu, aku berjanji akan mengembangkan usaha ibu. Dan sekarang saatnya ibu bercerita, kenapa ibu tidak lagi menjadi dokter?" Daisy mendekatkan tubuhnya pada Anjani dan menengadahkan wajahnya. Daisy berubah menjadi seperti anak kecil apabila ingin mendengarkan sesuatu, tangannya menopang dagu dan matanya langsung terfokus pada Anjani begitu saja.

Anjani selalu merasa tidak nyaman dengan tatapan putrinya yang seperti itu. Anjani merasakan, dalam diri Daisy yang mewarisi ayahnya yaitu dari bola matanya. Terlihat hampir sama, hingga membuat Anjani salah tingkah.

"Ehmmm.."

"Apa kamu benar ingin tahu?" Anjani memastikan. Daisy bergumam dan matanya langsung terhipnotis, tak ingin melewatkan tatapan pada ibunya yang masih sibuk menata benang dan aksesoris lainnya.

Flashback On

    "Dulu ibu bekerja sebagai dokter gigi dirumah sakit yang ada di Jakarta. Dan dulu sebelum kamu lahir, ibu masih terus bekerja. Sampai saatnya ibu ingin sekali membuka praktik dirumah. Karena ibu tinggal dipinggiran kota, maka banyak sekali pasien yang datang. Tapi orang-orang selalu datang kerumah ibu untuk periksa apapun yang mereka rasa sakit. Padahal mereka sakit demam, flu, tapi terkadang ada juga yang mempunyai keluhan sakit gigi. Ibu tak pernah menolak siapa pun yang datang kerumah ibu, walaupun mereka sebenarnya tahu kalau ibu adalah dokter gigi. Lambat laun banyak sekali orang-orang yang datang dari berbagai kota. Bahkan penghasilan ibu lebih banyak sebagai dokter umum, ketimbang dokter gigi. Dan saatnya tiba, ibu di somasi dan di demo oleh berbagai dokter spesialis maupun umum. Lalu ibu diberhentikan dari rumah sakit tersebut, ijin praktek ibu sebagai dokter spesialis gigi juga dicabut. Kalau ibu ingin menjadi dokter, ibu harus kuliah lagi. Ya memang, seharusnya ibu tidak serakah waktu itu. Tapi tak apa, ibu dulu telah menolong sesama manusia. Setidaknya ibu mendapat pahala." Daisy langsung memeluk ibunya erat-erat. Dia tak ingin menanyakan kejanggalan itu lagi, rasanya sangat takut membuat ibunya sedih.

"Perasaan yang merasakan ibu, kenapa jadi kamu yang sedih" tambahnya "Dasar anak cengeng" Anjani menoyor kepala Daisy.

"Ihhh ibu, ini namanya menghayati. Berarti Daisy bener-bener dengerin cerita ibu. Kalau Daisy nggak nangis, nggak peka dong berarti" cerocos Daisy dengan  mengerucutkan bibirnya. "Bibirmu ini selalu saja monyong. Gunting juga ni sekalian" kekeh Anjani dengan meremas sembarang bibir kerucut Daisy. Lagi-lagi Daisy berdecak malas terhadap ibunya.

Anjani selalu dapat memecahkan kesedihannya. Entah kenapa Daisy selalu dibuat berdecak sebal dengan tingkah ibunya. Ibunya sangat tidak suka memang jika Daisy menangis.

Daisy sudah bukan anak kecil lagi. Tidak ada lagi yang akan menggendong dan menenangkannya saat Anjani marah jika dirinya menangis.

Anjani berlalu meninggalkannya. Anjani bukan tipe orang tua jika melihat anaknya menangis malah ditungguin. Itu membuatnya semakin manja dan merengek. Dia tau jika putrinya menghayati ceritanya, namun Anjani sama sekali tidak suka putrinya masih terus menjadi anak yang cengeng. Itu hanya boleh dilakukan dulu semasa kecilnya Daisy, sekarang putrinya sudah cukup dewasa untuk hal mengeluarkan air mata.

Anjani yang melihat punggung putrinya dari belakang, dilihatnya Daisy sedang merajut banyak pesanan. Pasti bukan hanya lelah yang Daisy rasakan, terlebih setelah mendengar cerita darinya.

Love and ObviousWhere stories live. Discover now