Part 16

14 1 0
                                    




Jika banyak orang yang bilang. Mimpi buruk itu tidak boleh kamu ceritakan kepada siapapun, jika sampai itu kamu langgar maka akan jadi kenyataan. Tapi apa buktinya? Tuhan selalu memberinya mimpi buruk untuknya, padahal menceritakan kepada orang lain pun tidak ia lakukan.

Menghembuskan nafas, lalu mengusap wajahnya secara kasar ia lakukan untuk sedikit menghilangkan rasa sesak di dadanya. Yang dilakukannya seperti mata-mata, penguntit, pembunuh bayaran. Ah, apa harus membunuhnya? Sepertinya tidak. Itu berlebihan.

Dari dulu yang ia inginkan selalu ia dapat, tapi berbeda dengan kondisinya saat ini. Dia melihat, kesukaannya diambil oleh orang lain. Ingin rasa untuk merebutnya. Kini otaknya sedang berfikir keras, hal apa yang bisa dia lakukan?

Matanya kembali ke titik fokus.

'Sialan kalian. Dasar jalanggggggggg' beberapa kali dia memukul dadanya. Terasa sakit, pukulan itu hanya sekedar menyadarkannya. Dia rasa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berpikir jalan keluarnya.

____________________

Terik matahari seakan semakin ingin membakar kulitnya. "Betah banget sih loe berdiri. Udah masuk sana. Apa loe mau duduk sini" terlihat Panji mengangguk antusias. Panji mengerutkan keningnya, melihat Daisy sudah duduk di kursi kemudi.

Terdengar Daisy sudah menstater mobilnya, lalu menginjak sedikit pedal gasnya. "Ehh...." badan Panji sedikit ikut terseret laju mobil. Panji mengusap dadanya dengan membuang nafas lega. "Beneran kamu mau disitu?"

"Ck, buruan kali" Panji menghenyakkan pantat dengan ragu-ragu, menutup pintu rapat tak lupa melantunkan do'a terus-menerus.

"Nggak usah tegang gitu, cepet stroke loe" akhirnya Panji bisa duduk manis ditambah gadis yang ada disampingnya. Mengamatinya dalam diam, senyum manis tak luput tersungging dari bibirnya. Dagunya ditopang dengan tangan kirinya, lalu kepalanya menghadap Daisy.

"Mau kemana nih?" benar-benar gadis seperti yang Panji cari selama ini.

Daisy memalingkan wajahnya sedikit. Dilihatnya ada yang aneh dengan mahkluk disebelahnya. Segera Daisy menepikan mobilnya, lalu mendekatkan tubuhnya, menghadapkan tubuhnya di depan Panji. Sejenak Panji terkesiap mendapat perlakuan dari Daisy, tubuhnya sempat menegang beberapa saat.

Tangannya meraih seat belt yang ada disamping kirinya, lalu memasangkan untuknya. "Eh.."

"Apaan sih loe dari tadi eh..eh..muluk. Ada polisi tu depan, takut dimarahin" tanpa rasa bersalah Daisy kembali fokus ke depan. "Nggak usah ngliatin gue kayak gitu, jijik"

"Tapi saya engga"

"Gue yang jijik !!!" Panji terkekeh mendengar penegasan Daisy saat menyebut namanya. "Mau kemana? Loe belum jawab"

"Terserah kamu aja, kamu mau culik saya kemana hari ini" Panji memunculkan puppy eyes, kali ini Daisy bisa melihat Panji terlihat menggemaskan. "Kayak banci pake bulu mata tau nggak, kalo loe gitu" Daisy benar-benar tertawa sambil memukul kecil kearah setir.

Hati Panji benar-benar terasa menghangat melihat gelegar tawa keluar dari mulut Daisy. Haruskah dirinya bersikap seperti orang aneh bahkan gila, agar tawa Daisy bisa menguar? Sungguh pemandangan langka untuknya.

Panji kini mengerti fungsi mulut dan bibir. Tidak hanya untuk berbicara mengutarakan apa yang disampaikan oleh hati dan pikiran. Namun, mata dan gerakan tubuh yang belum sempat terwakilkan. Bibir itu melengkung sempurna, memperlihatkan barisan gigi rapih disana.

"Loe tau nggak?" Panji yang sedari tadi memang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya disadari oleh Daisy "Hmmmm" Panji tak merubah posisi duduknya, namun hanya menajamkan pandangan dan pendengarannya.

Love and ObviousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang