Part 6

60 3 0
                                    


3 minggu kemudian

"Bu, coba Daisy liat tanaman yang ditanam kemarin ya bu" kini Daisy semakin gemar menanam tanaman apa saja di kebunnya. Anjani pun tak bisa melarang apa yang disukai oleh anaknya.

"Emang hidup?" tanya Anjani dengan nada meledek.

"Hah, emangnya kenapa bu? Aku bisa kok kalo cuma nanem sayuran" mata Daisy langsung saja melotot saat Anjani begitu meremehkannya.

"Iya, kamu emang bisa. Tapi kemarin kamu perginya kan pas siang. Mana bisa tumbuh kalo kamu nanemnya siang?" satu toyoran dikepala berhasil didaratkan sempurna oleh Anjani.

"Hih, ibuk suka banget deh noyorin kepala anaknya. Nanti kalo aku bego gimana?" bibir kerucut khas Daisy kini menjadi andalan.

"Udah sana ke ladang" ucapanya mengejek.

"Taruhan atau gimana nih bu?" Daisy menaik-naikkan kedua alisnya, dengan menatap manja kearah ibunya.

"Taruhan apa?" Anjani tak kalah sengit menatap Daisy.

"Kalau nanti tanaman Daisy hidup, berarti ibu harus menuruti setiap permintaan dan sebaliknya. Gimana?" tawarnya dengan bergelayut manja dibahu ibunya. Anjani tampak berfikir sejenak.

"Oke" setelah berfikir sepersekian detik, akhirnya ia menyetujui. Dengan alasan 'nggak masalah kalau taruhan cuma gara-gara tanaman'

__________________

Bukan pertama kalinya 'bughhh' tubuhnya tersungkur ke tanah. Daisy mengusap wajahnya dengan kasar.

"Heiiiiiiii..." ucapannya terputus ketika Daisy membalikkan tubuhnya.

"Kau lagi?" Daisy mengarahkan kedua tangannya. Sebenarnya ia berniat untuk meraih kepala lelaki itu dengan kedua tangannya. Lalu memitingya, sampai dia menjerit kesakitan. Lalu mengaduh meminta maaf pada Daisy.

"Maaf, kita bertemu lagi" senyum cengengesan yang berhasil membuat emosi Daisy meluap seketika.

"Arghhh, kau kemarin belum minta maaf padaku. Sekarang kau balik lagi, dan membuatku merasa jengkel lagi?" lelaki itu hanya mengacungkan kedua jarinya membentuk V.

"Kau tak meminta maaf untuk ulahmu saat ini?" kilatan mata Daisy semakin melotot.

"Stttttt, kau berisik"

"Kau mau membidik burung itu?" tanya Daisy dengan badan membungkuk mengikuti arah lelaki itu.

"Heii, kau ngapain ikutan membungkuk seperti itu? Ini bahaya"

"Apa kau penjahat, perasaan kau sering sekali dihutan. Kau betah tinggal dihutan? Pasti biar kau tak ketahuan ya?" tanyanya penasaran dengan tak menghiraukan pertanyaan lelaki itu. Lelaki itu menegakkan badannya.

"Awwwwww, kenapa sih kau ini? nggak pernah liat kebelakang dulu" lagi-lagi tubuhnya jatuh.

"Sini, biar kubantu" segera Daisy menolak uluran tangan itu.

"Yasudah" lelaki itu duduk disebelahnya. Langsung saja ia meneguk minuman yang ia bawa. "Kau mau?" tawarnya. Daisy hanya menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?" ucapan itu dilontarkan oleh mereka secara bebarengan.

"Kau duluan" ucap lelaki itu. Kini ia melemparkan senyum. Senyum paling manisnya lah yang ia keluarkan untuk Daisy. Daisy mengerucutkan bibirnya

"Kenapa kau selalu dihutan?"

"Harus dijawab?" pria itu masih dengan senyum manisnya.

"Yaelah, masih nanya. Kalau pertanyaan ya harus dijawab" jawabnya ketus.

"Masak kamu nggak ngerti?" laki-laki itu membuang pandangannnya acuh, dan semakin membuat Daisy penasaran.

"Nggak usah sok akrab" Daisy mulai jengah dengan pria itu yang berbasa-basi.

"Kamu sendiri ngapain dihutan? Tinggal dihutan?" ucapnya dengan terkekeh pelan. "Kauuu......." segera Daisy melayangkan kedua tangannya, ingin sekali ia mencakar wajah itu. Pria itu memohon ampun, dan menangkupkan kedua tangan Daisy. 'Panji Wirang Pangestu' dibacanya bordir nama itu dalam hati. Lalu mengulanginya. Entah, otaknya dengan cepat langsung menyimpan nama tersebut.

Ini bukan getaran apa-apa. Hanya getaran biasa saja Daisy. Tapi rasanya menyalur keseluruh tubuhnya. Sentuhannya hangat. Daisy merasa nyaman. Jujur saja ia belum pernah merasakan seperti ini. Matanya saling bertemu. Jantungnya berdegup lebih kencang. Segera ia mengambil alih suara, agar jeritan hatinya tak terdengar oleh siapapun.

Begitu Daisy meyakinkan hatinya.

"Apaan sih" segera Daisy menghempaskan tangannya

"Kenapa wajah kayak udang rebus gitu?" "Mikir jorok ya?" tambahnya, Daisy hanya memberikan tatapan tajam kearahnya.

"Kau kenapa selalu saja marah terhadap pertanyaan bahkan apa yang aku perbuat?"

"Kau menyebalkan!!!" ucapnya kasar.

"Aku Tentara, aku sedang berlatih menembak. Dan kini dihutan, bukan aku tinggal dihutan atau buronan seperti yang kamu pikirkan" ceritanya terkekeh melihat kearah Daisy.

"Terus?" Daisy hanya memainkan kesepuluh jarinya. "Aku seneng aja ngelakuin apa yang aku mau, apa yang aku suka bahkan ini memang cita-cita aku. Akhirnya aku bisa mewujudkannya" ceritanya dengan tersenyum.

"Pantas saja kau selalu pakai masker seperti itu" balasnya dengan tersenyum getir. "Karena aku pengen jadi seperti ayah, namun gagal" tambahan suaranya kini terdengar lemah.

"Ini bukan masker, kalau dihutan ya gini." kekehnya dengan menatap gemas kearah Daisy.

Daisy senang mendapat teman baru, yang dapat menjadi tempat curhat untuknya walau sesaat. 'kenapa kau selalu berdetak tak karuan begini setiap si otak memikirkannya' rutuknya sebal terhadap hatinya. Nafas kasar ia hembuskan, ah pikirannya kacau. Daisy segera melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju rumah.

__________________

Perasaan gelisah selalu mengerubungi hati Daisy. Nampak gelisah, gusar, gugup.  Entah sosok mana yang sedang ia cari, kini ia mengedarkan pandangan keseluruh penjuru. Daisy mencoba memunculkan rasa penasaran seperti pertama dia datang. Daisy mencoba mencari apakah akan ada keanehan lagi yang ia rasakan. Daisy meremas dadanya pelan. Apakah akan ada lagi rasa ketakutan? Bahkan sampai matahari berubah berwarna keemasan dan tenggelam. Dengan langkah gontai ia berjalan kerumah. Hatinya masih sama. Cemas.

"Loh, mana nak bunganya?" Daisy hanya menggelengkan kepalanya. Gerutu dari Anjani sama sekali tak masuk dalam otaknya kini.

Untuk setiap lontaran amarah Daisy, bukan berarti dirinya benci terhadap sesuatu tersebut. Bahkan malah bisa menjadi boomerang untuknya. Secepat kilat Daisy menutup mulutnya rapat-rapat.

'Nggak mungkin..nggak mungkin aku suka sama dia'

Daisy terus mencubit lengan, kaki bahkan pipinya. Berharap ini hanya mimpi. Khayalan pikirannya yang terlalu jauh. Bahkan ia menyangkal pikiraan dari argumen pertamanya.

Amarah yang Daisy rasakan berbeda. Ia ingin terus melontarkan kata-kata dengan nada tinggi, lalu Daisy mendengar kesabaran disana.

Kali ini, Daisy harus memastikan hatinya baik-baik saja. Menetralkan detak jantungnya dengan mantra-mantra dalam otaknya.

'Itu pertemuan terakhir'

'Loe jangan ke ladang lagi'

'Dia tebar pesona'

Daisy mematut dirinya di cermin, lalu tersenyum melihat dirinya sudah tidak merasa cemas lagi. Kini saatnya Daisy membutuhkan Anjani.

Love and ObviousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang