Part 20

13 1 0
                                    





Tepat saat siang tadi menemukan Daisy dirumahnya ia merasa lega. Walaupun pria yang bersama Daisy tadi berusaha menatapnya dengan menyelidik ngeri.

Suhu di dalam mobil cukup dingin, tapi kira-kira apa yang membuat tubuhnya terasa terbakar. Entah, yang jelas kedua tangannya itu mengelap beberapa kali peluh yang menetes di dahinya.

Lalu satu persatu kancing kaus polonya iya buka. Rasa panas itu semakin menggerayangi sekujur tubuhnya. Mengumpat pada lampu merah disana yang tak kunjung berubah warna menjadi hijau. Ia segera melepas kaus tersebut, lalu melemparnya ke jok samping. Memamerkan perut berototnya berjumlah enam kotak mengkilap akibat peluh.

Suara klakson terdengar memekakkan telinga. Rahangnya mengeras, mana bisa manusia tidak bisa mempunyai perasaan penyabar sedikit saja.

Buku-buku jemarinya sudah memutih, mencengkeram kuat pada setir mobilnya. Sorot lampu jalanan memantulkan cahaya kearah jok sebelahnya. Oh bunganya. Segera tangan kirinya menyambar kaus polonya, melemparnya kebelakang. Nafasnya terdengar lega. Langsung saja semburat senyum menghiasi bibirnya.

Lampu jalan tepat di depan gerbang rumahnya sudah jelas terlihat menyala terang. Senyumnya kembali menguar. Tidak terlalu buru-buru, namun langkah pastinya selalu terlihat meyakinkan. Mengambil setangkai bunga matahari, lalu mengendusnya perlahan. Tak berbau apapun, namun memorinya kembali mengingat kejadian itu.

Sebelum turun dari mobil, ia tak lupa mengambil kaus polo yang tadi sempat ia lempar ke arah jok belakang. Tangannya tak sulit untuk menggapainya. Segera turun dari mobil dengan bersiul, lalu memutar-mutarkan kausnya ke udara.

Suara deheman itu menyambutnya. Tangannya terulur, lalu diciumnya. "Mama mana?" alis pria di depannya itu langsung menukik tajam. Ia melambaikan bunga matahari di depannya dengan raut wajah yang sangat menggemaskan. Gelegar tawa dari kedua suara yang memberat itu terdengar hingga telinga wanita yang berada di dalam rumahnya.

"Yaampun, kamu nggak pake baju?" wanita itu berlindung di belakang punggung suaminya.

"Mobil panas ma, minta ganti deh kayaknya" jawabnya cengengesan dengan menyenderkan tubuh kekarnya pada pilar rumah.

"Ya kamu gan....ti a..ja sen...di...ri" terdengar penekanan disetiap barisan katanya, papanya menyela

"Engga kok, kemarin papa buat jalan sama mama nggak panas tuh" pria itu memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya.

"Kalo di naikin berdua sama pasangan emang nggak panas paaaaa" ia berteriak dengan wajah memelas. Papanya hanya tertawa diikuti dengan mamanya yang tersenyum geli.

"Eh, apa tuh Yan?" jelas terdengar ditelinganya, bukan pertanyaan yang di dapat. Lebih seperti 'Sini, itu buat mama'.

Terkadang pria sering dibuat heran oleh kebanyakan wanita. Mereka bisa langsung tersenyum merekah dengan mata berbinar ketika dirinya menemukan sesuatu yang sangat mereka senangi. Begitu juga jika mereka sudah membenci sesuatu, baru mendengar awalan hurufnya saja mereka sudah menutup telinga rapat-rapat. Dua sifat bisa terlihat secara bersamaan dan itu pun bertolak belakang. Memang sebegitu pekakah perasaan wanita?

Tapi itu hanya menurut pengamatannya selama ini. ia tak butuh banyak penjelasan dari wanita mana pun untuk hal semacam itu. Toh selama ini dia merasa masih baik-baik saja saat dekat dengan mahkluk yang disebut wanita.

"Oh, ini buat mama" mengulurkan bunga itu kearah mamanya. Mama menyambutnya dengan mata berbinar, lalu mendekatkan ke indera penciumannya, setelah itu mengendusnya secara perlahan.

"Cantik, kamu beli dimana?" gugup. Jawaban apa yang harus ia lontarkan, ia tak boleh salah ngomong.

"Beli..."

Love and ObviousWhere stories live. Discover now