Part 19

17 1 0
                                    





Setelah tamunya benar-benar pergi meninggalkan pelataran rumahnya, Daisy berbalik. Dirinya menemukan Panji dengan tatapan menakutkan. "Hiiiii" Daisy bergidik ngeri sambil berlalu meninggalkannya, melihat Panji berkomat-kamit dengan akhir menghentakkan kakinya.

"Tadi siapa?" tanyanya menyelidik penuh penekanan.

"Kenapa? Loe kerasukan? Nyeremin banget wajah loe"

"Saya hanya sedang bersumpah, pria itu tak muncul lagi di hadapan kamu" seketika Daisy menghentikan aktifitasnya. Pandangannya terfokus kearah Panji, demi apa dia berani-beraninya mengutuk konsumennya?

"Dia konsumen, loe mau toko gue nggak laku. Terus gue bangkrut? Ibu gue mau gue kasih makan apa?" Daisy sengaja memasang badan jika saja Panji mengajaknya bertarung saat ini juga.

"Bukan gitu, tapi sepertinya dia manyukaimu" Panji berjalan mendekati meja kasir, lalu menyandarkan pantatnya pada meja tersebut dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Memang salah? Dia pria, aku wanita. Kecuali kalau dia menyukaimu" Daisy mengikik. Bisa ya Daisy dengan santainya menjawab secara absurd. Jelas-jelas membuat hatinya memanas. Panji semakin menggeram.

"Kauuuuu..." Panji langsung mencubit gemas pipi Daisy "Ini squisy yaaa haaaa..haaa" Panji memutar-mutar kedua pipi Daisy itu. Hanya pukulan-pukulan ringan yang ia dapat. Rasa gemas dan kasihan menjadi satu. Dilihatnya pipi itu sudah mulai berubah warna menjadi merah.

"Sakit beg....o. Aww" segera Panji ingin menangkupnya kembali tapi segera ditepis oleh Daisy.

"Stop, situ aja lo. Gue lagi sariawan. Gilaaaa, sakit banget" rasa bersalah menyelubungi hati Panji. Niatnya hanya bercanda, namun gadisnya merasa tersiksa hari ini untuk kedua kalinya.

"Lo hari ini nyiksa gue dua kali. Pulang sana lo" Daisy mengibas-ibaskan tangannya, dengan mata terpejam.

Bagi Panji, dirinyalah yang lebih tersiksa. Melihat tatapan pria yang tadi menemui gadisnya dengan tatapan tidak biasa. Bahkan Panji yang jelas-jelas menyukainya pun belum pernah menatap dengan tatapan penuh binaran. Walaupun Panji belum mengutarakan perasaannya terhadap Daisy. Panji adalah seorang pria, dia dapat merasakan tatapan apa yang dipancarkan oleh pria itu.

Panji sama sekali tidak memunculkan ekspresi wajah menyesal.
"Memang saya mau pulang, wleeeee" Panji memeletkan lidahnya.
"Nak Panji udah mau pulang?" tanya Anjani yang entah mulai kapan datangnya.

Panji menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu "Hehe iya buk, saya mau pamit. Maaf saya nyakitin Daisy....lagi" senyumnya terlihat ragu. Anjani segera menghampiri putrinya, menangkup wajahnya lalu mendekatkan wajah Daisy pada lekuk pinggangnya.

"Kenapa?" Anjani berusaha meraih Dagu putrinya dengan lembut, mengusap rahangnya perlahan agar tebuka.

"Liat deh buk" Daisy membuka mulutnya, memperlihatkan sariawan di sebelah pipi kanannya. "Huuufff..huuffff....sudah. Nanti sembuh, tadi nak Panji bercanda kok" dengan meniup pelan pipi Daisy yang sudah memerah.

"Saya minta maaf ya buk..." Anjani tersenyum padanya. Panji keluar rumah tanpa Anjani maupun Daisy, Daisy terlihat merajuk pada ibunya. Panji merasa kalau dirinya sudah mulai berlebihan akhir-akhir ini.

Entah angin dari mana dirinya lagi-lagi teringat oleh konsumen pria Daisy tadi.

'Kenapa nggak bayar hari itu juga?'

'Kenapa nggak transfer aja'

'Nggak liat apa tadi udah ada tulisan CLOSE'

Berbagai argumen bergelung dipikirannya. Panji menjalankan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, namun tetap saja dirinya membunyikan klakson saat pengendara lain mengganggu jalannya.

Love and ObviousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang