Part 23

12 1 0
                                    

Dengan seragam lengkap Panji berjalan dengan gagahnya meninggalkan tempat pemakaman. Hari ini Panji nyekar di Taman Makam Pahlawan, guna memupuk jiwa patriotismenya.

Berulang kali Panji menghubungi Daisy, namun tak ada sahutan sama sekali. Sedikit cemas, karena tak biasanya Daisy seperti ini. Jika pun dia lelah, pasti akan menghubunginya. Walau dengan nada suara menyebalkan, tapi Panji menyukainya. Bahkan kali ini sedang merindukannya.

Panji memutuskan untuk pergi kerumah Daisy. Tak terlihat tanda-tanda adanya kendaraan yang terparkir seperti biasanya. Panji juga mengingat ini bukan hari libur toko. Sedikit ragu langkahnya untuk mengetuk pintu rumah Daisy.

"Eh, nak Panji. Sini masuk" Panji mengangguk patuh. Mengekor di belakang bibi yang mempersilahkan duduk

"Cari Daisy ya?"

"Iya. Toko tumben tutup bi?"

"Loh, emang Daisy nggak bilang?" Panji terlihat cengo.

"Daisy itu lagi pergi ke Padang nemuin temennya, mau bisnis katanya" Panji manggut-manggut setelah mendengar penjelasan bibi. Ada perasaan cemas, gadisnya selalu saja tiba-tiba menghilang.

"Cowok bi?"

"Cewek kok, cemburu ya kalo cowok" goda bibi langsung mencairkan keraguan Panji.

"Bibi bisa aja, yaudah kalo gitu bi. Saya pulang aja ya, titip salam untuk Daisy"

"Ihh, bibi belum buatin minum ya, tega bener" dengan senyuman manis Panji berpamitan, meninggalkan rumah pujaannya. Yang pasti dengan kekecewaan juga kelegaan.

Panji teringat bagaimana keadaan Papanya sekarang. Apakah baik-baik saja? Sebenarnya niat Panji kerumah Daisy sekalian ingin membawakan papanya bunga dan juga Daisy sekaligus. Namun, keduanya tak ia dapatkan. Mungkin Panji bisa mendapatkan bunga ditempat lain, atau bibi juga bisa membuatkan rangkaian bunga untuk papanya. Namun, tujuan utamanya bukanlah itu. Tujuannya adalah papanya mengenal Daisy.

"Kenapa kau bermuram durja wahai anak muda?" Rio dengan tampang melas, mulai mendekati Panji. Dengan wajah was-was pastinya.

"Nyinyir aja sih mulut cowok" jawabnya malas, lalu melempar setelan jas miliknya.

"Belum ketemu Syifa?"

"Ha? Syifa siapa?" wajah bingung Panji membuat gelak tawa Rio. Panji begitu tegang saat mendengar nama itu disebut.

"Syifa itu obat hati. Ya Daisy lah, elah" Rio kini duduk disampingnya, dengan menepuk pelan bahu Panji yang terlihat menegang. Dengan jijik Panji menatap sahabatnya tersebut.

"Abang, percayalah. Adek baik-baik saja. Dan akan selalu menjaga hati adek untuk Abang" Rio menirukan gaya seorang cewek, dengan menggenggam lembut tangan Panji.

"Najis monyetttttttttttt" Panji melempar jauh-jauh tangan yang sudah menyentuhnya. Panji meninggalkan Rio dengan bergidik ngeri.

Panji tak tau apa yang harus dilakukan saat libur seperti ini. Daisy pun tak ada sahutan atau kabar sedikit pun. Panji mencoba menghubunginya lagi. Lama menunggu Daisy tak sadar Panji merasakan kantuk.

'Haloooo.....Panji'

'Nji....'

'Nyettttt...loe dengerin gue nggak sih. Gue sibuk' seketika juga Panji langsung menegakkan badannya.

"Daisy, kamu angkat telfon saya? Daisy kok nggak bilang kalau hari ini ke Padang?"

'Emang kalo gue bilang kenapa?'

"Ya, seenggaknya saya nggak kerumah Daisy tadi"

'Loe ngapain kerumah gue?'

"Mau beli bunga. Ya mau beli kamu lah"

Love and ObviousWhere stories live. Discover now