Siyeon menatap Jungkook ragu, "Benar tidak masalah?"

"Naiklah." Jungkook membeberkan senyumnya.

"Ya, bocah, aku tidak mau merepotkanmu."

Jungkook berdecak dan keluar dari mobilnya. Tanpa persetujuan, ia menarik wanita itu memasuki mobilnya dan menutup akses pendengaran untuk penolakan.

"Jeon Jungkook!" pekik Siyeon. "Kau sudah keterlaluan."

"Oke, bisakah noona tenang sebentar. Kupastikan kita sampai dengan selamat. Dan berhenti menganggapku anak kecil."

Siyeon mulai menggerutu. Jungkook hanya tersenyum lantas melajukan mobilnya di jalan berbaur dengan kendaraan lain.

###

Yeji mencopot earphone dari telinga ketika keluar dari lift. Dijejalkannya benda itu ke dalam tasnya yang terbuat dari kanvas secara paksa.

Ketika itu ia melihat seorang wanita berdiri menghadap pintu apartemen Jungkook. Wanita cantik itu memiliki tubuh tinggi ramping. Usianya mungkin seusia ibunya.

Kemudian Yeji menghampirinya dan bertanya sopan, "Ahjumma, mengapa anda berdiri di sini?"

Wanita itu tersentak. Wajahnya tampak begitu terkejut. Namun semua itu tidak menyingkarkan kesan ramah yang melekat di wajahnya.

"Ya?" tanyanya panik dan menoleh pada pintu sesaat.

Yeji mengikuti arah pandang wanita itu dan menatapnya dengan kening berkerut samar.

"Ah, pasti anda mencari Jeon Jungkook?" Lagi-lagi dialah yang menawarkan diri bertanya.

Wanita itu belum menjawab. Ekspresinya masih diliputi kebingungan dan sesuatu yang tak mampu Yeji tebak lebih jauh.

"Ini benar-benar tempat tinggal Jeon Jungkook?" tanyanya penasaran sekaligus terdengar lega.

Yeji langsung memasang senyum seraya mengangguk. "Benar. Tapi kemungkinan dia belum kembali. Biasanya dia baru pulang jam sembilan nanti."

"Kau mengenalnya?"

Yeji ragu sejenak. Lalu akhirnya menjawab, "Kebetulan... aku... tinggal bersamanya."

Mata wanita itu melebar. Tapi Yeji cepat-cepat menyela, "Terpaksa aku harus tinggal dengannya karena ada masalah kecil. Hanya sampai beberapa hari ke depan. Tolong jangan salah paham."

"Ah, begitu rupanya." Wanita itu bergumam lebih kepada dirinya sendiri. Lalu ia berkata menaikkan suara. "Bisa tolong berikan ini padanya," ucapnya sembari menyerahkan bungkusan plastik berlogo restoran daging.

Yeji mengulurkan tangannya, menerima plastik itu.

Kemudian ia menatap jam tangannya sekilas. "Anda tidak mau menunggunya dulu? Sebentar lagi sepertinya Jungkook pulang."

"Tidak usah."

"Kalau begitu aku harus segera masuk," kata Yeji merasa tidak enak. Jurnalnya masih menunggu. Malam ini ia juga harus melakukan siaran.

"Tapi ahjumma benar-benar tidak mau ikut masuk?" tawarnya memastikan.

"Aku harus pulang. Masih ada urusan yang belum kuselesaikan."

Dengan begitu Yeji tersenyum untuk yang terakhir kali kepada wanita itu sambil membungkukan sedikit badan. Sebelum masuk, wanita asing itu menahan pergelangan tangannya.

"Tolong jangan katakan apa pun tentang ini padanya. Jangan berikan ciri-ciri informasiku padanya."

Yeji tertegun. Ia merasa aneh. Namun hanya mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

###

"Aku lapar."  Suara itu terdengar serak seperti suara khas orang bangun tidur.

Ternyata dia sudah pulang. Pikir Yeji.

Tidak lebih dari dua detik mata mereka bertemu. Jungkook duduk di pantry setelah mengambil minuman dingin dari kulkas.

Yeji melepas sepatunya dan meletakkan dengan rapi di rak. Tidak lupa ia membereskan sepatu bot Jungkook yang tercecer untuk bergabung dengan sepatunya. Yeji hanya tidak suka melihat sesuatu yang berantakan.

Lupakan untuk masalah meja komputernya yang sering berantakan. Dia suka meja komputernya sedikit kacau.

Setelah itu ia berjalan ke dapur, menempatkan plastik berisi daging dan tas kanvasnya tak jauh dari Jungkook.

"Kau bawa apa?"

"Daging," sahut Yeji sambil melipat kedua lengan kaos pendeknya di bagian pundak.

Gadis itu mencuci tangannya di wastafel, dan saat itu juga Jungkook kembali bertanya di belakang sana, "Kau tahu restoran daging favoritku?"

Yeji tidak menjawab. Karena ia sendiri bingung jawaban apa yang harus diberikan. Tidak seharusnya ia mengakui daging itu adalah miliknya. Sementara di sisi lain, wanita tadi tidak meninggalkan informasi dan memberi amanat aneh.

Hah. Di jaman sekarang masih ada orang baik memberi daging mahal.

"Karena kau tahu restoran daging favoritku," sambung Jungkook ceria. "Kuizinkan kau naik pangkat menjadi pesuruhku."

Yeji tertawa sinis. Mengabaikan lelaki setengah waras itu tenggelam dalam imajinasi.

Selagi Yeji masih berkutat memasak daging. Jungkook pergi ke kamarnya. Mengambil ponsel dan kembali ke dapur.

Jungkook berdiri di sampingnya.

"Coba dengar ini." Ia mendorong sebelah earphone ke telinga Yeji tiba-tiba.

Mendapati perlakuan itu, Yeji terperanjat menjauh hingga earphone di telinganya terhempas ke udara.

"Wae?" tanya Jungkook keheranan. "Aku hanya minta pendapatmu tentang cover laguku."

Jungkook kembali disodorkannya sebelah earphone kepada Yeji.

Yeji langsung mengambil benda itu dan menautkan pada telinganya. Lagu dimainkan. Gadis itu mendengar potongan lirik lagu dari suara lembut dan merdu.

Tetapi ia tidak bisa menikmati sepenuhnya lagu tersebut karena Jungkook berada dalam jarak sedekat ini dengannya.

Sekelebat potongan masa lalu membuatnya kembali diterjang rasa takut. Terdapat satu alasan kuat yang menjelaskan ketakutannya.

Ia menunggu sampai bait berikutnya terdengar, lalu melepas earphone itu tergesa-gesa.

"Bagus," komentarnya singkat. "Duduklah. Dagingnya hampir matang."

Sebelum pergi duduk Jungkook menatap Yeji tidak senang atas komentar sederhana. Padahal dia menyanyikan lagi itu sepanjang malam.

"Ya, besok temani aku," kata Jungkook dari kursinya.

"Pekerjaanku banyak."

"Besok temani aku cari hadiah," ulang Jungkook ketika Yeji berdiri di hadapannya.

Gadis itu fokus menata daging sapi di piring. "Aku sibuk."

"Sesuai kesepakatan. Kontrak nomor empat. Pengungsi…."

"Harus selalu memenuhi segala perkataan dan sesuatu yang dibutuhkan pemilik," sambar Yeji dan menghembuskan napas dengan kesal.

Seluruh kontrak sialan itu seolah sudah ia hafal di luar kepala. []

StreamingWhere stories live. Discover now