14 : Tidur Bersama !

118K 2.3K 103
                                    

Steve tiada henti bergelung ke kanan dan kiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Steve tiada henti bergelung ke kanan dan kiri. Decitan halus suara sofa yang bergerak mengikuti gerakan si pemilik yang sudah sepersekian kali berpindah posisi dalam tidur. Suara tangisan dan permintaan Sarah untuk pulang masih saja keluar dari mulut gadis itu.

"Hiks! Aku mau pulang!"

Ya Tuhan, hampir tiga jam Sarah menangis dan meratap seperti itu. Haruskah Steve memberikan ancaman lagi kepada Sarah? Steve menarik napas dalam-dalam, menambah daftar ketakutan dan tangisan Sarah. Sarah selalu berhasil membuatnya kehilangan kesabaran.

"Abaikan, Steve. Abaikan." Steve bergumam tanpa henti. Steve kemudian mengambil posisi tidur menyamping dan menulikan pendengaran dengan bantal dia posisikan di telinga.

Namun usaha Steve tidak menuai hasil. Steve sudah tidak tahan. Steve benar-benar ingin tidur. Tidur senyaman-nyamannya dan Sarah telah mengganggu.

"Damn!" Steve membuang bantal, lalu disibaknya selimut yang melindungi tubuhnya hingga terjatuh ke lantai. Steve turun sofa dan menendang meja kayu yang sempat menghalangi jalannya dengan kaki, hingga suara gebrakan keras turut menyertai langkah kaki Steve menuju kamar tidur. Steve menautkan alis dengan gigi menggeretak menahan letupan amarah di dada. Bahkan secara samar, Steve dapat mendengar Sarah tengah mengumpatnya halus.

"Steve memang jahat. Hiks! Aku ben―" Ucapan Sarah menggantung di udara karena suara keras yang muncul tiba-tiba dari arah pintu.

Brak! Sarah yang masih berbaring dengan wajah dia benamkan pada bantal putih, akhirnya mengangkat wajah. Isakan sedihnya kini berhenti, berganti rasa takut dan terkejut.

"Kenapa tidak kau lanjutkan?" Steve berdiri di depan pintu, tetapi tidak lama kemudian dia menutup pintunya dengan sebelah kaki. Steve mengunci tanpa mengalihkan mata dari Sarah.

"Steve." Sarah masih membeku di tempat. Tubuhnya seolah-olah tidak berdaya saat Steve dengan santai berjalan ke arah tempat tidur yang saat ini ditempati olehnya. Saat itulah Sarah sadar. Sarah kembali duduk dan mengusap wajah dengan punggung tangan, lalu memutar tubuh hendak turun ranjang.

"Mau ke mana?" Steve menarik lengan Sarah dan mendorong tubuhnya kembali berbaring.

Penolakan Sarah diredam bungkaman tangan oleh Steve. Kaki Sarah, Steve kunci dengan kaki. Kedua tangan Sarah yang sempat memukul membabi buta ke arah Steve berhasil ditangkap dan sekali lagi diikat dengan satu tangan miliknya yang terbebas.

"Berhentilah berteriak. Aku lelah mendengarnya, Sarah," ucap Steve.

Sarah tidak tahu mana yang membuatnya takut. Steve yang berada di atas tubuhnya atau wajah Steve yang terasa begitu dekat dengan wajahnya. Namun ketakutannya masih pada sumber yang sama. Steve.

"Aku hanya ingin tidur dengan tenang, Sarah. Mengerti?" Steve mengucapkannya tegas tanpa berusaha merubah posisi tubuhnya saat ini. Sarah melihat keseriusan di mata Steve. Lama dalam hening, Sarah akhirnya mengangguk lemah.

"Good girl." Steve melepas bungkaman di mulut Sarah. Diusapnya dengan sapuan tipis pipi Sarah yang basah dan sembap. Gerakan samar jari jemarinya seolah-olah menghapus jejak air mata yang masih tersisa di wajah.

"Satu lagi, aku tidak ingin mendengar suara tangisanmu lagi. Paham?" Steve memberikan perintah dan entah kenapa Sarah tidak berani untuk mengatakan tidak. Sekali lagi Sarah hanya mengangguk, seperti anak ayam yang menuruti induk.

"Good." Steve tersenyum tipis seraya mengganti posisi tubuh dari atas tubuh Sarah.

Steve mengambil tempat di samping Sarah, lalu ikut berbaring. Lalu dipejamkan matanya yang entah telah berapa lama tidak mampu membuat Steve tidur lelap dan tenang.

"Kalau begitu, aku akan tidur di ...."

"Kau tetap di sini." Steve berkata dengan suara tak terbantah.

Sarah menautkan jari jemari dengan gigitan kecil di bibir. Diliriknya Steve, lalu laki-laki itu sepertinya telah tertidur. Jika dilihat dari dekat, Steve memiliki bulu mata lebat. Alisnya yang tebal jatuh begitu arogan dan tegas. Namun buru-buru, Sarah arahkan kembali matanya ke tempat lain karena tidak nyaman.

Sarah mengubah posisi tubuh dan tidur meringkuk menghadap jendela. Dipandanginya bulan yang tersenyum dengan sinar indah, menerangi kegelapan Kota Manchester yang begitu pekat. Tanpa sadar, Sarah ikut tersenyum hanya melihat segelintir keindahan alam yang diciptakan Tuhan.

Begitu lama Sarah menatap bulan yang setia menemani malam kelam, Sarah mulai menguap karena rasa kantuk mendalam. Sarah mengusap mata, tetapi matanya terasa begitu berat untuk terbuka. Saat kesadaran kian menipis, disertai dengan mata yang mulai terpejam dengan sempurna, Sarah sempat merasakan tangan seseorang melingkar di perutnya. Sarah merasakan tubuhnya ditarik ke belakang hingga punggung menyentuh sesuatu yang keras.

Sarah menggeliat. "Steve?" Sarah bergumam menyebut nama Steve, di saat kesadarannya kian lenyap.

"Aku hanya ingin memelukmu. Tidurlah." Suara parau Steve mengalir di telinga Sarah. Suara yang berhasil menyihir Sarah untuk tertidur. Sarah tidak sadar bahwa Steve masih terjaga untuknya.

***

Erick berjalan gelisah di depan pintu yang saat ini dihuni Shaila. "Kenapa begitu lama?" Saat Erick berniat menggeser pintu, Joana tiba-tiba muncul di hadapannya. Belum juga Joana mengambil napas, Erick memburunya dengan rentetan pertanyaan. "Bagaimana dengan Shaila? Apa dia bangun? Apa ini kabar baik?"

"Diamlah, Erick. Suaramu membuatku pusing." ucap Joana jengah.

Erick menggeram, "Kalau begitu cepat katakan, apa yang terjadi dengan Shaila?"

"Ini sungguh perkembangan. Setelah belasan tahun, akhirnya Shaila bisa merespons lingkungan dengan gerakan tangan. Ini keajaiban." Joana tersenyum bahagia. Bagaimanapun juga Shaila adalah keponakannya.

"Jadi apakah Shaila sebentar lagi akan siuman?" tanya Erick penuh harap.

"Aku tidak tahu, tapi aku melihat perkembangan otak Shaila telah meningkat ke level manusia normal pada umumnya." Erick mengusap wajah dengan desah lega bercampur bahagia. "Gerakan kecil pada pasien yang mengalami koma, pada umumnya terjadi karena pengaruh alam bawah sadar. Ada sesuatu yang mendorong alam bawah sadarnya untuk merespons sesuatu." Joana menjelaskan panjang lebar.

"Sesuatu? Apa maksudmu dengan sesuatu?"

Joana menatap Erick tepat di mata pria itu. "Sesuatu yang penting. Makin penting hal itu, maka persentase Shaila siuman akan makin besar."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tears of Sarah [21+] / Repost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang