Ch. 34 - Diary Akemi

3K 337 1.2K
                                    

*Sudut Pandang Akemi

Seumur hidup, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Jangankan jatuh cinta, tertarik pada laki-laki saja tidak pernah. Tidak—aku juga tidak tertarik pada perempuan. Aku cewek normal, bukan LGBT. Entahlah, sampai saat ini yang membuatku tertarik hanyalah ilmu pengetahuan.

Seganteng-gantengnya Lev, sekeren-kerennya Roman, selucu-lucunya Hoshi, atau seimut-imutnya Rock, aku tidak merasa jatuh cinta kepada siapapun. Entahlah, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Apakah Dewa Cinta mengutuk hatiku?

Kupikir begitu, namun akhir-akhir ini perasaan asing itu mulai dapat kurasakan.

Di bulan Juni yang indah—saat hujan turun deras—untuk pertamakalinya aku merasakan jatuh cinta. Tidak—aku tidak ingin cepat mengambil kesimpulan. Sepertinya, aku cuma tertarik saja pada orang itu.

Saat itu, ketika kelas usai, aku berniat langsung pulang karena ekskul sedang libur. Tapi, hujan deras memaksaku untuk berteduh di bangunan sekolah ini. Aku jarang buka hape saat sedang menunggu sesuatu, aku juga gak pernah baca buku. Saat menunggu seperti ini, biasanya aku diam saja memperhatikan sekitar.

Tidak—aku tidak melamun, aku memperhatikan sekitar—kemudian menulis sesuatu yang ada dalam benakku. Apa saja, pasti aku tulis dalam catatan kecil.

"Aku boleh ikut duduk di sini?" tanya Kenji-senpai.

Aku mengangguk mengiyakan.

Kenji-senpai adalah anak Kepala Sekolah sekaligus mantan Ketua OSIS. Ia cowok paling ganteng di sekolah. Semua cewek suka sama dia, soalnya dia juga pinter. Kalau Lev dan Roman pinter, mungkin mereka juga bisa sepopuler Kenji-senpai.

"Akemi nulis apa di catatan kecil itu?" tanya Kenji-senpai.

"Hehehe. Rahasia," kataku langsung menyembunyikan catatan itu.

Aku dan Kenji-senpai sudah mengenal satu sama lain, soalnya dia juga anggota ekskul yang aku ikuti. Kami berdua mengobrol dengan santai sambil menunggu hujan ini reda.

Ketika duduk bersebelahan dengan Kenji-senpai, cewek-cewek banyak yang menoleh ketika berjalan melewati kami. Mereka tersenyum pada Kenji-senpai, tapi menatap tidak suka kepadaku. Meski ditatap begitu, aku tidak merasa terganggu.

Jujur saja, berada di dekat Kenji-senpai, rasanya sangat nyaman. Rasanya seperti sedang dilindungi dari berbagai ancaman di dunia ini. Berada di sisi Kenji-senpai, bikin hati jadi tenang.

Saat sedang asyik mengobrol dengan Kenji-senpai. Ota datang menghampiri kami berdua.

"Akemi, ini tiket makan gratis di kedaiku. Terimalah!" Ota menyodorkan tiket itu.

Aku langsung menerimanya.

"Makasih Ota. Tapi, kenapa aku yang dikasih? Anak yang lain dikasih, gak?" tanyaku.

"Enggak, ini khusus buat Akemi. Soalnya, Akemi udah banyak bantu aku waktu aku kena kekuatan aneh. Kalau tidak ada Akemi, pasti aku sering digotong ke tengah lapangan," Ota berekspresi biasa.

Aku pun tertawa.

"Oke deh. Nanti aku mampir. Makasih, ya!"

Kemudian Ota menoleh pada Kenji-senpai.

"Eh, Kenji-senpai juga boleh ikut. Tapi harus bayar," ucap Ota, serius.

Kenji-senpai hanya tersenyum.

"Iya. Lain kali aku ke sana," balasnya.

Saat itu, hujan sudah sedikit reda. Ota menerjang hujan memakai payungnya karena harus segera bekerja. Sedangkan aku, masih duduk bersama Kenji-senpai menunggu hujan benar-benar reda.

"Akemi menyukai anak yang tadi, ya?" Kenji-senpai tiba-tiba bertanya.

"Eh, siapa? Ota?"

Kenji-senpai mengangguk.

Aku menelengkan kepala. "Kata siapa?"

"Aku tahu. Dari cara Akemi menatap matanya, aku tahu kalau Akemi menyukai Ota. Akemi mungkin tidak sadar, tapi dalam lubuk hati terkecil Akemi, Akemi pasti menyukai Ota."

Aku hanya tersenyum. "Waah, senpai ternyata pandai dalam urusan percintaan, ya. Kupikir senpai cuma jago dalam belajar."

"Hee, gini-gini aku juga punya pacar, loh." Kenji-senpai juga tersenyum. "Tapi, rahasiakan, ya!" bisiknya.

***

Dari semua anak laki-laki di Kelas 1-F mungkin Ota yang paling tidak mencolok. Sifat Ota terlalu normal, tidak ada yang menonjol dari dirinya. Bahkan Kensel yang dianggap bawahannya Rock, sangat terkenal di klubnya. Hashimoto yang menyembunyikan wajah dibalik topeng malah terkenal satu sekolahan. Apalagi Shuu dan Hoshi, penjaga kantin saja pada tahu.

Ya, Ota itu memang sangat normal. Wajahnya standar, kelakuannya standar, nilai pelajarannya juga standar. Untuk ukuran orang aneh, Ota terlalu normal.

Sore ini, aku mau memakai tiket yang Ota beri kemarin. Aku pergi ke kedainya sendirian. Karena tadi ada ekskul sebentar, aku jadi tidak sempat mengajak teman sekelas. Meski makan sendirian, gapapa lah, yang penting gratis!

Sesampainya di kedai Ota, ternyata di sana ada Lullin dan Maggiana yang sedang duduk berhadapan. Aku langsung menghampiri mereka.

Ketika melihat wajahku, mata Maggiana berbinar. "Akemi!!! Sini-sini, duduk di sebelahku!"

"Ja-jangan Akemi-san. Kamu harus hati-hati sama Maggiana. Mending duduk di sebelahku saja." Lullin menawari.

Aku pun duduk di sebelah Lullin. Maggiana langsung jutek.

Setelah memesan makanan, kami bertiga mengobrol layaknya seorang cewek ketika mengobrol bersama (author gak tau apa yang diomongin, mungkin para pembaca yang cewek pada tahu).

Meski Maggiana dan Lullin sedang menikmati makanannya, mereka sesekali menemaniku mengobrol. Aku yang sedang menulis sesuatu di catatan kecil juga ikut mengobrol.

Tak lama, pesananku telah tiba. Ternyata, Ota sendiri yang membawa. Biasanya para pelayan yang membawa karena Ota juru masaknya.

"Ini Katsudon-mu Akemi. Kalau gak enak, lempar aja ke muka Maggiana," kata Ota sembari menyajikan Katsudon dan Es Lemon di atas meja kami.

Aku dan Lullin tertawa. Maggiana kesal, dia memegang kacamatanya. Ota langsung kabur.

Ota terlihat sangat cocok dengan pakaian kokinya. Dia jadi terlihat lebih dewasa.

Katsudon yang disajikan Ota, terlihat sangat menggoda. Aromanya sangat harum. Meski belum aku makan, aku sudah bisa membayangkan bagaimana kelezatannya.

Aku pun mulai mencicipi Katsudon buatan Ota.

(Astaga... ini lezat sekali.)

Aku sudah tahu, kalau Ota itu jago masak. Tapi, rasanya kemampuan memasak Ota semakin lama semakin meningkat saja. Katsudon yang sekarang lebih lezat dibanding Katsudon yang sebelumnya.

"Kayaknya enak, ya. Punya suami yang jago masak," ucapku sambil menikmati Katsudon.

"Apa?" tanya Maggiana dan Lullin kompak. Sepertinya, mereka tidak mendengar ucapanku barusan.

"Kamu ngomong apa Akemi? Gak kedengeran," Maggiana penasaran.

Aku hanya tersenyum.

"Bukan apa-apa, aku cuma bergumam," kataku sambil terus menyantap Katsudon yang sangat nikmat.

Sore itu—di sebuah kedai kecil—bersama dua teman baikku—untuk pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta. Tidak—mungkin aku cuma tertarik saja. Ya, aku yakin ini cuma rasa tertarik saja.

Subarashii Classroom: Kelas Aneh! [END]Where stories live. Discover now