Om Rendy dan Tante Veona

760 34 8
                                    

Om Rendy dan Tante Veona

Aku datang di rumah tante Veona sekitar pukul dua siang dan masih mengenakan seragam sekolah. Tante waktu itu memang terlihat bingung karena kedatanganku yang tiba-tiba. Padahal saat itu seribu pertanyaan di kepalaku membutuhkan jawaban.

Kami berdua duduk ruang tamu, entah hanya perasaanku saja atau tidak, saat ini aku merasa canggung. Tidak tahu harus memulai perkataan dari mana. Tante Veona memang pandai mencairkan suasana dengan dia bertanya tentang sekolahku dia juga terkadang menyinggung tentang Reo.

"Reo mau pindah ke Surabaya nih besok lusa dia datang," kata Tante dengan senyumnya yang lebar.

"Seriusan? Wow, bagaimana dia sekarang? Sudah lama juga aku tidak kontak dengan dia sejak dia pindah ke Kalimantan," jawabku berusaha mengesampingkan tujuanku untuk datang.

"Dia tidak suka di foto kecuali foto ijazah katanya gitu," jawab Tante.

Kami berdua pun tertawa.

"Jadi kenapa nih tiba-tiba dateng ke rumah Tante? Kangen ya?"

"Eh... aku mau tanya soal..." aku bingung harus bilang bagaimana ke tante Veona. Aku merasa beberapa tersangkut dibtenggorokanku.

"Kenapa jadi gerogi gini sih? Sudah terbuka saja sama Tante."

"Eh... soal Bunda," jawabku dan wajah tante Veona langsung berubah.

Tente Veona pun berdiri. "Ikut tante ke kamar, tante akan tunjukan kepada kamu sesuatu tentang bunda kamu."

Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Sampai di kamar aku duduk di tepian tempat tidur sambil memperhatikan tante Veona yang sibuk membuka beberapa lacinya untuk mencari sesuatu.

Setelah menekumannya dia memberiku sebuah kertas yang usang penuh dengan goresan tanda yang ditulis dengan cepat hingga barisnya pun tidak rapi, aku beranggapan bahwa tulisan ini ditulis secara cepat dan terburu-buru.

"Kamu tahu buku merah yang di maksud Bunda kamu?" tanya tante Veona, saat aku berusaha memulai membaca tulisan-tulisan itu.

Aku tiba di apartemen mbak Aila lima belas menit setelah ia meneleponku. Dengan bantuan petugas ambulan yang aku panggil akhirnya Aila yang tampak lemas berhasil berada di rumah sakit.

Aku menulis cerita ini adalah saat di mana di ruang persalinan Aila sedang berjuang. Aku dimintanya untuk menuliskan kisahnya untuk melanjutkan buku merahnya. Aku tidak tahu apa yang dia maksud tetapi aku segera meminta kertas di meja resepsionis berseta bolpin dan menuliskan semuanya di sini.

Keadaan mbak Aila saat itu sangat tidak berdaya lagi, wajahnya tampak lesu dan pucat, dia terus saja memegang perutnya sambil melirih kesakitan kakinya sudah berdarah, aku sudah berusaha utuk tidak panik namun gagal. Kakiku tangan terus bergemetar hingga aku tidak kuasa bekata-kata ataupun menghubungi siapapun yang aku kenal. Ini bukan jatuh tempo tanggal kelahiran karena menurut prediksi dokter akan jatoh bulan depan. Yang aku tahu kelahiran di usia delapan bulan cukup berisiko.

Aku sampai meminta tolong kepada orang untuk menghubungi mas Radit atau mas Rendy. Aku sungguh bingung tidak bisa tahu mau menulis apa ini. Tlong!

(Tulisan tante Viona mulai terlihat rapi)

Akhirnya aku bisa tenang sekarang, Aila dengan wajahnya yang masih pucat masih sanggup mendekap anak perempuannya di dadanya walau hanya sebentar karena bayinya terlahir premature dan harus segera ditangani secara intensif di tabung inkubator.

Dia tersenyum lebar bisa melihat bayinya. Sengaja aku tidak mendekat karena aku di minta untuk terus menulis apa yang terjadi kepadanya. Dia sekarang sedang bersama Rendy. Dia juga tampak sedih ketika bayinya harus dipindah ke ruangan lain.

Sepuluh menit saat setelah bayi itu di pindahkan tiba-tiba mbak Aila merasa dadanya sesak, aku berteriak dan terus menulis ini, Aila tidak mengizinkaku bergerak dari kursi. Rendy sudah lebih dulu keluar untuk mencari bantuan.

Tiba saatnya diberitakan bahwa mbak Aila telah meninggal dunia. Dokter yang mengatakan itu pun berlalu. Aku sudah menangis sejak tadi Rendy terus saja merangkulku dan matanya memerah aku tidak mampu lagi mengatakan rasa sedihku aku hanya terus menulis sekarang tanpa arah tujuan. Apa ini.

Satu jam kemudian mas Radit datang ke rumah sakit dengan matanya yang merah dan despresi. Wajahnya yang lesu, Rendy langsung memeluknya. Namu mas Radit mengelak dan menerobos masuk ke dalam ruangan sambil berteriak memanggil nama mbak Aila yang sekarang sudah melemas dengan wajah pucatnya yang masih teraut.

Pemakaman mbak Aila berjalan lancar sekitar pukul tiga sore setelah salat ashar. Mas Radit juga sudah tampak lebih tegar namun aku tahu perasaan sedihnya tidak bisa ditutupi lagi.

Mbak Aila sempat bilang kepadaku waktu di dalam ambulan. "Jika kamu di apartemenku ambilah lipatan kertas di dalam sobekan boneka monyet di kamarku berikan kepada Anakku nanti saat dia sudah besar."

Aku hanya menurut, aku tahu mbak Aila telah merasakan bahwa akhir hidupnya tidak lama lagi.

Dan itu benar terjadi. Selamat jalan mbak Aila, amanat kamu akan aku jaga baik-baik sesuai dengan permintaanmu.

Aku membaca cerita ini jujur sangat kecewa. Kecewa dengan diriku bahwa selama ini aku menganggap Bunda masih hidup, namun harus pergi meninggalkanku. Padahal kenyataan Bunda telah tiada dan aku tidak mungkin bisa melihatnya lagi.

Om Rendy kemudian masuk ke dalam kamar, dia tampak bingung juga karena aku dan tante Veona matanya sama-sama berkaca-kaca. Om Rendy pun berjongkok di hadapanku memandangku. Dia terlihat bibgung dan memabdang tante Viona untuk diberi kejelasan, kemudian dia memelukku dengan erat.

"Bunda kamu adalah sahabat terbaik Om, dia yang menyatukan Om dan Tante. Apa lagi Ayah kamu juga orang yang baik. Bunda kamu sering curhat mengenai kebaikan Ayah kamu saat-saat kehamilannya dulu. Rasa perhatian Ayahmu hingga bisa membuat Bunda kamu kuat hingga akhirnya melahirkan gadis cantik sepertimu. Dia akan bangga di atas sana jika putri kecilnya selalu bahagia."

Aku mengangguk.

Sekarang aku benar menyadari. Aku hidup di tengah orang-orang yang baik dan orang-orang peduli dengan cerita orang lain. Om Rendy dan Tante Veona adalah dua manusia berharga dalam hidup Bunda di akhir hidupnya. Rasa sayangku kepada mereka mungkin sama dengan bagaimana Bunda sayang kepada mereka.

Om Rendy melepas pelukannya dan Tante Veona memberikanku limpatan kertas yang sepertinya telah ditulis lebih lama lagi. Karena keratasnya jauh lebih usang dari apa yang aku pengang sekarang.

"Ini yang dimaksud bunda, bagi tahu dengan Ayah kamu, ya?" kata tante Veona ramah dan mengecup keningku. "Sekarang kamu pulang dan jangan menangis lagi, oke."

Aku mengangguk.

"Biar Tente yang antarkan kamu pulang."

Lagi-lagi aku hanya mampu mengagguk saja karena tidak ada lagi kata-kata yang tersusun di otakku.

((BERSAMBUNG))

Aila dan Radit (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang