Semarang, 1 Juli 2017

686 50 10
                                    

Udara malam yang syahdu dan langit tampak tidak berujung dengan ribuan bahkan jutaan bintang bertaburan. Mereka menyaksikanku bahwa keyakinan dengan seorang pria yang berani menantang dirinya sendiri.

Dua pria datang ke rumah dengan maksud dan tujuan yang sama adalah sesuatu yang pasti dan sudah aku pastikan kepada yang bersangkutan. Kau bisa menganggapku terlalu percaya diri akan tetapi faktanya seperti ini dalam hidupku.

Aku tiba di kafe daerah Mugassari, Semarang Selatan pukul delapan lebih dulu daripada Yudha ataupun Radit. Sekitar sepuluh menit setelah aku tiba Yudha datang dengan mengenakan kaus berwarna hijau dengan boomberjaket berwarna abu-abu serta celana pendek berwana hitam, lima menit setelah itu Radit datang dengan kaus hitamnya dan celana pendeknya berwarna krim. Mereka berdua duduk di depanku dengan menatapku yang sepertinya penuh tanda tanya, karena aku tidak menjelaskan apapun kepada mereka atas pertemuan ini.

"Maaf," kataku kepada mereka. "Kalian tahu kenapa kita semua berkumpul di sini?"

Mereka saling pandang untuk beberapa saat lalu mereka kembali menatapku.

"Aku kira hanya kita berdua," kata Yudha.

"Apakah kamu ingin mengambil keputusan dan memilih salah satu dari kita?" sela Radit. Seketika itu Yudha langsung menoleh ke arah Radit.

Aku langsung mengangguk saat itu, setengah tidak percaya Radit mengetahi maksud dan tujuanku sebenarnya. "Tetapi sebelum itu lebih baik kita memesan sesuatu."

Menit berikutnya kami memesan makan, sebelum akhirnya semua makanan itu dihidangkan di atas meja tidak satupun dari kami untuk angkat. Aku sendiri kenapa suasana menjadi canggung. Yudha sibuk memperhatikan sudut-sudut ruangan sedangkan Radit matanya fokus kepada ponselnua yang sepertinya sibuk dengan urusan tesis.

Saat makanan dihidangkan di meja pun kami tidak saling bicara dan makan dalam diam sampai piring-piring kami kosong. Menit berikutnya aku yang seharusnya memulai pembicaraan kepada mereka. Aku menanyakan kesibukan mereka masing-masing walaupun aku tahu kesibukan Radit tetapi yang paling utama aku ingin tahu kesibukan Yudha.

Waktu itu Yudha menjawab bahwa dia sibuk mencari perkerjaan dan mengurus surat pindah untuk tetap tinggal di Bandung.

"Itu hanya basa-basi," kataku setelah Radit menjawab tentang persiapannya untuk sifang tesis. "Terima kasih kalian sudah mau menghadiri undanganku. Terima kasih kalian sudah bersikap dewasa."

Mereka mengangguk, Radit segera mematikan ponsel lalu membaliknya sedangkan Yudha membenarkan posisi duduknya. Aku terdiam sejenak membiarkan mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing mengani suasana yang akan terjadi.

"Aku sudah berumur dua puluh tiga tahun sudah tidak pantas bimbang urusan hati dan sudah saatnya aku tegas dalam memilih pria yang siap untuk menikahiku. Kalian pasti tahu kesibukan yang akan aku jalani dan sudah tidak ada waktu lagi untuk mengurus urusan hati karena karirku untuk menjadi dokter juga buka  urusan gampang."

Aku terdiam sejenak layar ponselku menyala karena pesan masuk dari Mama. Akan tetapi aku mebiarkannya dan melanjutkan perkataanku.

"Radit, kamu tahu betapa terkejutnya aku saat kamu meminta izin kepada Mama untuk menjadikanku kekasih. Kamu tahu, dalam pikiranku sama sekali tidak ada rasa untuk menjadikan kamu kekasihku. Aku hanya menjadikan kamu sebagai temanku karena kebaikanmu terhadapku yang mungkin aku tidak bisa membalasnya." Dari yang awalnya menatao Radit aku beralih menatap Yudha.

"Yudha, kita sudah lama berpacaran kita putus beberapa bulan yang lalu dan selama itu kamu berusaha menjelaskan suasana yang sebenarnya terjadi. Kamu pasti tahu jika aku membuka selebar-lebarnya pintu maaf kepada kamu."

Aku lagi-lagi saat itu terdiam untuk beberapa saat dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mencerna perkataanku.

"Tetapi sebelum aku memilih aku ingin bertanya kepada kalian," kataku seraya memegang gelas minumku yang tingga separuh. "Apaka kalian memang sayang kepadaku."

Yudha langsung membuka mulutnya dan mengatakan bahwa dia benar sayang kepadaku. Namun berbeda dengan Radit dia menjawab, "Sebagian perasaan sudah kamu rasakan sendiri bagaimana aku terhadapmu."

Aku mengangguk saat itu dan mengucapkan termakasih terhadap mereka. Menit berikutnya setelah pesanan itu telah aku bayar aku meminta mereka untuk menutup mata saat kami semua tiba di tempat parkir.

"Kalian bisa menghitung satu sampai sepuluh dan baru boleh untuk membuka mata."

Mereka menurut, setelah aku membrikan intruksi untuk menghitung mereka langsung menyebutkan deretan angka.

Satu. Aku masih terdiam di tempat menatap dua pria yang berdiri di depanku dengan menutup mata.

Dua. Kakiku melangkah mundur satu kali dan masih memperhatikan mereka satu per satu.

Tiga. Kakiku mulai terasa membeku dan kaku jadi sulit untuk aku menggerakannya.

Empat. Aku terdiam di tempat

Lima... enam... kakiku mulai berjalan mendekat menghampiri seorang pria yang menjadi pilihanku. Aku memegang tanganya dan menyeretnya untuk pergi dari tempat parkir. Kedua pria itu masing menghitung dan hingga hitungan sepuluh mereka langsung membuka mata.

Pria yang tangannya masih aku genggam sekarang dia membuka mata langsung berhenti melangkah dan membuatku juga terhenti. Segera aku menoleh ke arahnya. Pria itu menatapku bingung lalu berkata, "Jadi kamu memilih aku?" Aku langsung mengangguk tanpa menunggu waktu lagi.

Dia sempat bertanya kenapa aku memilihnya kemudian aku menjawab seperti yang telah dia katakan kepadaky saat di kafe.

"Sebagian perasaan sudah kamu rasakan sendiri bagaimana aku terhadapmu."

Pria itu tersnyum lalu tertawa kecil seraya mendekapku dalam pelukan dan mengucapakn terima kasih kepadaku. Tidak lama setelah itu aku mendapatkan pesan dari seseorang. Saat pria itu mulaimerenggangkan pelukannya aku mulai membuak pesan tersebut.

[Yudha]
Terima kasih atas makan malamnya. Urusanku di Semarang telah selesai aku akan kembali ke Bandung besok sore pukul 17.35 di stasiun Tawang. Mungkin kamu mau say goodbye sebelum aku pergi.

Kau tahu keputusanku adalah keputusan yang lahir dari hatiku bukan karena belas kasihan melainkan dari kebutuhan. Aku masih teringat jelas perkataan Mama kemarin malam bahwa pilihan yang sesuai dengan hatiku atau yang lahir dari dalam diri tanpa ada rasa ragu sedikitpun walau hanya sekecil biji pasir. Radit adalah pilihan yang tepat bukan berarti Yudha tidak. Akan tetapi hatiku mengatakan bahwa Radit memang yang berkuasa atas hatiku.

Aku menceritakan kepada Radit mengenai pesan Yudha kepadaku dan dia bersedia untuk mengantarku ke ke stasiun walau itu cukup jauh dari rumah. Setelah itu tanganku dan Radit mulai terikat kembali aku, sebelum akhirnya dia mengantarkanku pulang aku memintanya untuk mengantarkanku mampir untuk membeli roti bakar pesanan Mama.

Kau tahu, aku menulis cerita ini sekarang Radit sedang memperhatikanku lewat panggilan video. Aku tidak tahu kenapa dia ingin sekali memperhatikanku sampai akhirnya aku benar-benar tertidur. Mungkin aku harus mengakhiri cerita pada hari ini.

Intinya aku dan Radit mulai menjalin hubungan lebih serius walaupun dia belum melamarku akan tetapi dia berjanji akan melamarku saat orang tuanya yang di Singapura datang ke Semarang. Katanya akhir bulan September.

((BERSAMBUNG))

Wanita akan tampak mulia jika dipandang dari sisi hatinya, aku bisa melihatnya dengan jelas. Terima kasih kamu telah memnganggapku pemberani, ternyata kamu memahami jika diri kitalah yang menjadi musuh terbesar dalam kehidupan.

Ciee... untuk kalian yang plinplan silakan mulai sekarang pastikan untuk siapa hati kalian berlabuh.

Vote atau comment

AILA RADI

Aila dan Radit (OPEN PO)Where stories live. Discover now