Semarang, 28 Juni 2017

855 48 1
                                    

Selamat malam kota semarang,

Aku tidak seberapa paham dengan rasi bulan tetapi boleh jadi bulan kali ini tampak lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Walaupun langit terlihat mendung.

Berhari-hari dia terus saja datang ke rumah dan kehidupanku. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia terus seperti itu di saat aku tidak lagi membutuhkannya lagi. Lantas, kenapa dia dulu menghilang di saat aku membutuhkannya? Pertanyaan yang tidak pernah terjawab dan jawaban yang tidak pernah ada.

Kebingungan terus saja menjajah otakku mengobrak-abrik di dalamnya sehingga kepalaku berdenyut dan semua menjadi tidak pasti. Dia sempat menasihati, seharusnya aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur karena keadaanku sebenarnya kurang membaik.

Dia mengantarkanku pulang saat aku terjebak dikemacetan. Saat di kamarku dia masih tetap menasihati. Aku hanya bisa tersenyum, duduk di atas tempat tidur bersandar di tembok sambil meminum teh hangat buatan Mama. Aku suka sikap dia seperti ini, walaupun sebenarnya gejolak rasa kecewa wasih membara. Justru itu yang membuatku meragukan sikap baiknya karena aku takut bahwa sikap manisnya akan menyisakan pahit diakhirnya.

Kau tahu, boneka beruang yang sudah beberapa minggu yang lalu telah aku berikan ternyata masih berada di kamarku selama ini. Aku tahu sejak Yudha mengambil boneka itu di atas lemari yang tidak pernah mampu aku gapai sebelumnya.

"Boneka ini terus saja merengek ketika kamu meninggalkannya di meja makan," katanya kepadaku sambil mendudukkannya di sampingku. "Lihatlah baju toga yang tampak cantik dipakainya."

Aku mengangguk menatap kesal kepada boneka itu, aku bingung kenapa dia masih tetap saja mengadu kepada tuannya padahal dia bukan bagian dari kehidupanku lagi. Aku meletakkan gelas minumku ke atas nakas lalu berusaha meraih boneka itu dan memangkunya.

"Terima kasih," kataku kepada boneka itu. "Tetapi tolong jawab pertanyaanku kenapa tuanmu terus saja baik kepadaku? Dan kenapa dia masih di sini padahal dulu sempat kembali ke Bandung bersama Mamaku?"

Mungkin Yudha mengira aku adalah orang yang kurang sehat berbicara dengan boneka alias benda mati.

"Aku pasti akan menunjukan semua alasan yang terjadi." Yudha duduk di sampingku, mengambil alih boneka beruang itu. "Maaf, mungkin selama ini aku terlihat akuh di depanmu, aku selalu berkata kasar kepadamu. Aku terlalu sering mengingkari janji yang aku buat sendiri."

Yudha mengambil ponselnya dari saku celananya lalu sibuk untuk beberapa saat dengan ponselnya dan kemudian dia menunjukan kepadaku foto seorang perempuan. Kau tahu, ini adalah pengakuan yang luar biasa yang pernah aku alami. Seseorang yang selama ini aku cari adalah seseorang yang aku lihat di layar ponsel Yudha.

"Jangan berpikiran buruk dulu," kata Yudha ramah dan merebut ponselnya di tangku secara perlahan sedangkan aku seketika itu mematung. "Dia adalah temaku yang terkena kanker otak stadium akhir."

Aku langsung tercengang menatap Yudha dengan serius selagi otakku menimbang perkataannya apakah benar atau hanya sebuah kebohongan. Tetapi sebelum hasil timbangan keluar aku seketika itu mampu menafsirkan bahwa dia memang berkata benar karena aku tahu tatapannya yang tiba-tiba kosong seperti membayangkan sesuatu hal.

"Namanya Cyndi, teman semasa kecilku. Saat kanker itu diangkat setelah menggerogoti sebagian otaknya dia hanya mengingat kisah saat kami masih sama kecil. Dia terus saja memanggil namaku, hingga orang tuanya memanggilku untuk datang ke Bandung."

Aku akhirnya tahu kenapa semua itu terjadi. Sikapnya berubah setelah dia pindah ke Bandung, Sikapnya menjadi aneh ketika dia berada di sana. Dan dia menjadi mudah marah karena dia sedikit frustasi karena temannya akan meninggalkannya jauh.

Mungkin aku pernah menulis tatapannya kosong saat pertama kali aku melihatnya datang ke Semarang setelah berbulan-bulan tidak pernah datang dan aku mengetahui dengan jelas bahwa Yudha masih merasa sedih dengan kepergian temannya itu.

"Aku dipecat dari perkerjaan karena aku tidak bisa lebih lama lagi menahan nyawa Cyndi. Dia telah tberpulang. Maka dari itu aku melupakan hari wisudamu karena saat itu hari pemakamannya."

Yudha memang tidak meneteskan air mata tetapi matanya memerah dan berair, justru aku yang malah lebih dulu meneteskan air mata. Aku ternyata selama ini salah menafsirkan sikap Yudha terhadapku. Jujur aku menyesal.

"Maaf dulu pernah mengatakan bahwa kamu adalah wanita murahan. Saat itu memang aku merasa depresi sekali karena keperguan Cyndi di saat itu aku sangat membutuhkan kehadiranmun. Tetapi kamu bahkan sebaliknya pergi dengan pria itu. Aku mungkin salah tidak menjelaskan ini kepadamu lebih awal aku tidak ingin kebahagiaanmu terganggu dengan kabar duka yang aku bawa dari Bandung."

Boleh jadi suaraku tertahan, aku sulit melontarkan kata-kata lagi seolah pintu maaf terbuka lebar lalu mengizinkan Yudha masuk. Aku mungkin salah karena tidak menyadari situasi yang sebenarnya. Mungkin ke depannya aku harus tahu bahwa kebenaran sebenarnya adalah dari sebuah kepercayaan.

Aku sudah pada tempat yang menyudutkan diriku dan aku sendiri penyebabnya. Kau tahu, aku sudah terlalu nyaman dengan posisi Radit yang datang di saat aku membenci Yudha tetapi faktanya kebencianku sekarang menjadi tanpa alasan lantas bagaimana dengan aku dan Radit?

Tengah tiba saat aku dan Yudha tidak saling berbicara namun duduk bersebalahan, aku mendengar bahwa ponselku bergetar di atas meja. Aku segera turun dari tempat tidur. Aku tahu Yudha menatapku yang sedang berjalan menuju meja. Ya, kau tahu? Bahwa ponselku bergetar dan layar ponselnya menunjukan nama Radit yang sedang meneleponku.

Mendadak sontak aku menatap ke arah Yudha. Aku terdiam sejenak dan ponselku tidak lagi bergetar dan layarnya padam kembali.

"Siapa yang menelepon?" Yudha bertanya kepadaku namun sebelum aku sempat menjawab. "Pria itu?" Dia mengernyit lalu berdiri. "Kalau seperti itu aku akan pulang saja."

Dia berjalan mendekat bertepatan ponselku kembali menyala dengan kondisi yang sama, Radit mencoba menghubungku kembali. "Aku akan pergi." Memegang leherku di bawah telinga dan ibu jarinya mengusap pipiku.

Aku tercengang dan melepasnya keluar dari kamarku menutup pintu dari luar. Sedang aku masih tetap membiarkan ponselku yang berulang-ulang bergetar. Sampai akhirnya aku menulis semuanya sekarang aku masih pada keadaan yang sama.

((BERSAMBUNG))

AKU PERCAYA KATA-KATAMU BAHWA KEBENARAN AKAN TERUNGKAP DARI SEBUAH KEPERCAYAAN.

Pasti kalian punya sesuatubyang menjanggal dalam cerita ini. Ungkapkan sekarang.

Aila dan Radit (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang