Bandung, 29 September 2019

467 32 0
                                    

Sudah tidak terasa aku sudah berumur dua puluh lima tahun, sudah menjadi wanita dewasa yang siap untuk berumahtangga. Apalagi beberapa hari yang lalu aku sudah di sumpah menjadi dokter. Bahagia? pasti dan jangan ditanyakan lagi.

Impian seorang wanita dewasa sepertiku adalah memiliki suami yang mampu menuntun ke jalan yang benar, menjadi seorang istri yang setia serta menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Apalagi ada ikatan pernihakan diantara penghamburan cinta yang tidak bisa diukur dengan apapun bahkan pendekteksi detak jantung pun aku rasa tidak mampu mengetahui sebagaimana luar biasanya hati ini meledak-ledak.

Bandung, Semarang dan Surabaya adalah kota yang menyaksikan kisahku bersama Radit. Mereka mengetahui benar bagamana kami pada belahan bumi yang berbeda. Walaupun posisi hati tinggal pada tempat yang sama namun raga harus terpisah. Tetapi ikatan pernikahan tidak akan ada yang mampu memotong, membantai, merusak dan menghancurkan kecuali mereka yang tertutupi api dan asap.

Pernikahan adalah pelabuhan terakhir di mana hati akan tinggal dan mengendap untuk selama-lamanya pada perasaan cinta di luar kepala. Sebuah janji suci yang sama sekali tidak sepatutnya untuk dilanggar ataupun dikhianati. Sedang aku tidak pernah sedikitpun memikirkan akan meninggalkan seorang pria yang telah melabuhkan hatinya untukku sepenuhnya karena bukan perkara mudah jika tidak didasari dengan pertimbangan batin untuk menjada dan merawatnya.

Kau pastinya tahu jika Bandung adalah kota kelahiranku namun kota ini juga menjadi tempat di mana kami terikat oleh janji suci pagi tadi hingga selama-lamanya sampai akahir hayat. Kenapa memilih Bandung? Tanyakan kepada Radit.

Di Bandung kisahku akan berlanjut seperti yang pernah aku ceritakan bahwa aku akan tinggal di Bandung sampai tugas internsip selesai sedangkan Radit masih ada waktu satu minggu karena setelah itu dia harus kembali ke Surabaya untuk memenuhi tugasnya sebagai pelatih olahraga. Sudah tidak asing lagi jika kami selalu berpisah, tapi kami menyadari bahwa dunia membutuhkan kami dan jika kami hanya mementingkan keegoan cinta lantas untuk apa kami tinggal di bumi.

Setelah tugasku di Bandung selasai aku sudah memutuskan akan pindah ke Surabaya bersama Radit tinggal di apartemennya. Menempuh perjalan bahtera rumah tangga yang selama ini aku impikan. Tidak ayal lagi aku akan menjadi ibu di samping aku menjadi istri yang setia dan juga tugasku untuk negara menjadi dokter.

Sekarang Radit telah tertidur pulas setelah kami menemui ratusan tamu yang menghadiri pernikahan kami. Boleh jadi aku merasa sangat bahagia pagi tadi, banyak hal yang diluar dugaanku terjadi. Melangsungkan pernihakan di halaman gedung pernikahan Istana Muara kemudian pesta pernikahan dilanjutkan setelah itu di dalam gedung yang sudah didekorasi dengan apik.

Banyak pula tamu-tamu di luar dugaanku, seperti Yudha dia sempat datang dan menjabat tangan kami dan tidak lupa dia mengucapkan selamat. Kira-kira seperti ini yang dia katakan padaku.

"Bukan berarti kita pernah berpacaran terus aku tidak datang kepernikahan kamu kan? Aku sebenarnya datang bersama tunanganku namun dia sedang ada acara lain jadi aku ke sini sendiri."

Waktu itu aku hanya mampu memberikan senyuman kepadanya, setengah kebingungan hendak melakukan dan mengatakan apa kepadanya namun Radit sepertinya telah mengatasinya. Dia memeluk Yudha seperti kerabat lama dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Seketika aku membeku di tempat menyaksikan dua pria yang tidak pernah dekat kini terlihat lebih akrab.

Yudha berlalu datanglah Rendy dengan seorang wanita yang pernah dia tunjukan padaku melalui foto. Sebenarnya aku tidak tahu kenapa Rendy bisa berada ke pernikahanku namun aku mulai melupakan daat Rendy menjabat tanganku dia memperkenalkan wanita di sebelanya kepadaku srbagai seorang kekasih. Wanita itu tersenyum ramah kepadaku dan aku juga membalasnya. Boleh jadi tubuhku bergerak sendiri untuk memeluk wanita itu dan segera mengucap terima kasih kepadanya. Namun di samping itu Radit di sebelahku tampak tidak enak dengam suasana yang terjadi. Apa mungkin waktu itu dia masih cemburu dengan Rendy. Terserah aku tidak peduli dengan sekarang, bagaimana pun juga tanggal pernikahan selalu memperingatkanku untuk tidak berbuat menyimpang lagi pula tidak sedetikpun terpikirkan olehku suka ataupun tertarik dengan Rendy.

Dan kau tahu apa yang Radit katakan padaku saat Rendy dan kekasihnya pergi. Kira-kira seperti ini.

"Kamu tahu aku terhadap pria itu bagaimana, namun bukan berarti aku tidak mengundangnya ke pernikahan kita bukan?"

Ya, sama sepertiku aku juga terkejut mendengat kalimat yang dibisikkan padaku. Anehnya waktu itu dia sedikit mengaku bahwa dia cemburu. Lupakan perkara Radit dengan Rendy yang sama berhuruf depan R, namun aku tidak melupakan R yang lain.

Sebenarnya R yang ini bukan tamu melainkan orang yang dulu pernah membuatku senyum-senyum sendiri mengingatnya kejadian itu. Tetapi cerita R yang satu ini di mulai setelah acara selesai saat seluruh keluarga dan tamu undangan melepas aku dan Radit menaiki mobil berhias bunga di bagian depan untuk menuju hotel yang sengaja kami pesan untuk menikmati malam secara intens.

Sebelum menaiki mobil tersebut saat aku hendak melempar bunga kepada tamu-tamu perempuan yang sudah bersiap siaga untuk mengambilnya konon katanya yang dapat meraih bunga tersebut tidak lama akan menyusul untuk segera menikah. Seperti ini yang Radit bisikkan ke padaku.

"Ada sesuatu yang spesial di dalam mobil jadi segera lempar bunga itu dan ayo kita pergi dari tempat ini."

Aku mengangguk dan segera melepar bunga itu kebelakang dan ya, boneka itu ternyata diraih oleh kekasihnya Rendy. Jujur boleh jadi saat itu aku merasa puas dengan lemparanku. Saat akhirnya masuk ke dalam mobil aku tidak melihat ada yang aneh namun setelah setengah perjalanan akhinya Radit memberitahuku sesuatu yang dia maksud.

"Pak, sampaikan pesan saya kepada Ratu," kata Radit waktu itu kepada sopir, sehingga membuatku mengernyit sembari pikirku melayang-layang bahwa Radit akan memberikan sesuatu seperti segudang berlian atau apapun itu yang luar biasa.

"Saya perwakilan dari Raja Raditian Nugraha mengucapkan selamat sore untuk Ratu Aila Larasati yang kecantikannya melebihi ibu kantin di rumah sakit yang kini telah resmi menjadi permaisuri," kata pak Sopir. Awalnya aku merasa tidak asing dengan kalimat-kalimat itu, mengerling ke arah Radit yang tampak menahan tawa. Jujur bukan isi kalimat yang dilontarkan yang menjadi rentetan pertanyaan di kepala melainkan siapa pria yang melontarkan kalimat itu.

"Aku mendatangkan sopir dari Semarang untuk mengantarkan kita ke hotel." Radit tersenyum kepadku sedang aku masih kebingungan. "Kamu masih ingat pak Ridwan."

Saat itu pak sopir langsung melengakbke belakang. Kau tahu, rasa bahagia ini sudah tidak mampur terdefinisi lagi, tidak bisa kuutarakan dan aku merada lumpuh sekarang untuk mendeskripsikan. Bagaimana tidak, Radit sama sekali tidak pernah bertemu dengan pak Ridwan dan waktu itu hanya berkomunikasi melalu panggilan suara saja lantas bagaimana dia bisa menemukan pak Ridwan.

"Jangan bertanya bagaimana aku bisa bertemu dengan pak Ridwan, itu adalah perjalanan yang membuahkan hasil," kata Radit sambil memelukku dan mencium dahiku.

Pak Ridwan langsung mengucapkan selamat kepadaku dan Radit, dia juga merasa bangga bisa menjadi saksi cinta kami. Setibanya di hotel pak Ridwa membantu kami mengangkat koper yang sudah dipersiapkan di bagasi. Saat di depan kamar Radit memintaku untuk masuk ke dalam terlebih dahulu karena dia masih perlu berurusan dengan pak Ridwan.

Ya, selama beberapa hari berada di hotel bersama Radit memang cukup menyenangkan. Bisa menjadi sangat dekat lagi, di mana dulunya kami tidr terpisah sekarang kami tidur pada satu tempat tidur yang sama. Jika dulu kami saling pandang  melalui telepon sampai tertidur jika sekarang aku mampu melihat Radit hingga tertidur pulas. Kau tahu Radit jauh lebih dulu tertidur munglin dia terlalu letih mempersiapkan pernihakahan ini.

Aku berjingkat dari tempat tidur dengan sangat hati-hati agar Radit tidak terbangun. Membuka koperku dan mengambil buku merah lalu menulis cerita ini sekarang di lantai bersandar pada dipan. Aku rasa sampai di sini aku mampu menulisnya aku harus segera tidur, kata Radit kami harus terbangun pukul tiga. Aku sendiri apa maksudnya itu.

((BERSAMBUNG))

Bahagia pada dasarnya berawal dari keberuntungan dan aku merasa beruntung karena kebahagiaanku kamu yang menjadi penyebabnya.

Aila dan Radit (OPEN PO)Where stories live. Discover now