Semarang, 10 Mei 2017

1.3K 99 129
                                    

Awan akan dianggap mati jika tidak mampu menurunkan hujan. Tanaman akan dianggap sudah tidak berguna lagi jika tidak menghasilkan apa-apa. Sama halnya hatiku tidak akan mencintainya jika tidak ada rasa bahagia di dalamnya.

Sudahkah kau tahu jika langit kali ini seperti gumpalan kapas seajuh mata memandang. Sembari menatap langit dari cendela kamar aku berusaha menafsirkan sebuah rangkaian kata yang sejak beberapa hari ini menggangguku. Rangkaian yang sama pada setiap lembaran buku yang aku tulis di setiap harinya, sejak aku mengakhiri hubungan dengan Yudha.

Kau tahu lagi, luka itu semakin buruk bertepatan dengan menghilangnya Radit sejak terakhir dia mengantarkanku pulang. Kian lama dia menghilang membuat semakin pekat aroma tubuhnya di hidungku, semakin hangat sentuhannya yang masih aku ingat dan semakin kuat ikatan rindu seperti jemarinya yang pernah terjalin dengan jemariku.

Aku kebingungan, apakah dengan aku pergi dari Yudha adalah langkah awal aku membuka jalan untuk Radit? Bukan, aku tidak ingin kepergianku adalah Radit alasannya. Kau pasti tahu selama ini Yudha menyiksa hatiku seperti aku menyiksa boneka beruangku.

Semua bukan berarti selama ini aku tidak pernah bahagia bersama Yudha. Mungkin dulu aku pernah menulisnya, tetapi itu kapan aku lupa. Tetapi aku selalu ingat 21 April 2010 adalah tanggal saat Yudha mengungkapkan rasa kepadaku. Cukup lama memang, itu aku tulis di buku harianku tahun 2013 ke bawah sampai 2008.

Aku hampir saja tersenyum sendiri mengingatnya. Waktu itu aku masih kelas sepuluh sedangkan Yudha adalah kakak kelasku kelas dua belas. Sangat gempar sekali saat Yudha datang ke kelasku dengan kondisinya yang bekeringat seperti telah berlari ratusan kilometer jauhnya. Dia memberiku sebuah bunga sepatu yang dia petik dari taman sekolah. Dia tidak sendiri dia datang bersama teman-temannya sekitar lima siswa laki-laki untuk membantunya memblokade ruang kelas sehingga hanya tersisa aku dan Yudha. Setelah itu dia langsung menyatakan perasaannya kepadaku dan aku menolaknya. Jujur, aku takut waktu itu. Dia adalah senior sedangkan aku baru saja masuk SMA.

Namaku langsung menjadi bahan pembicaraan para senior terutama yang perempuan. Mengatakanku sombong dan lain sebagainya menolak laki-laki nomor satu di sekolah. Aku sendiri bingung waktu itu Yudha hanya mengutarakan perasaannya sebatas sebuah tantangan karena dia kalah bermain kartu. Boleh jadi mereka semua yang datang ke kelasku adalah siswa yang selalu membuat onar, bagaimana tidak sekolah dibuat untuk bermain kartu yang pastinya telah melanggar selusin perturan sekolah.

Jelas waktu itu aku menolaknya. Namun sepanjang waktu berjalan. Boleh jadi Yudha semakin hari mencoba mendekatiku secara perlahan dia sangat ramah sekali padaku. Pernah ada cerita saat aku berjaga di UKS saat upacara hari senin dia berpura-pura sakit kepala dan sedikit manja agar aku simpatik terhadapnya. Ya, dia aku minta untuk meminum obat namun dia beralasan belum sarapan dan malah mengajakku pergi ke kantin. Aku sendiri bingung saat itu kenapa aku berkehendak memenuhi ajakannya. Lalu saat jam istirahat kami makan berdua di kantin untuk kali pertama. Kami bertukar nomor ponsel dan kedekatan terjalin sampai dia benar-benar mengungakapkan perasaannya tanpa dorongan dan paksaan orang laian ataupun memenuhi tantangan apapun.

Cerita terus berlanjut setelah lulus SMA dia memutuskan untuk kuliah di Bandung. Sudah bisa diduga, semakin jauh jarak antara kami membuat semakin jauh pula ikatan hubungan kami. Dia sudah mulai sibuk dengan perkuliahannya aku juga masih fokus belajar di sekolah.

Hampir tujuh tahun aku menjalani hubungan jarak jauh dengannya, masih ada sisa manis, asam dan pahitnya untaian cerita yang terajut. Walapun hubungan itu kini telah berakhir. Semua karena aku belum mengetahui bagaimana mengobati hati yang terluka. Jika aku mampu aku akan bertahan dengan Yudha sampai akhir atau mungkin tidak.

Boleh jadi selama empat tahun yang lalu aku belajar menjadi dokter tetapi ilmu untuk menyembuhkan luka tidak berwujud di hatiku sama sekali belum pernah bisa aku kuasai. Aku selalu kebingungan soal perasaan dan Yudha penyebabnya. Kau tahu, kemarin dia memohon kepadaku untuk kembali. Dia memberikanku bunga dan cokelat dan mencobaku memberikan kejutan dengan menghias kamarku dengan bunga-bunga. Yudha sama sekali tidak aku anggap berhasil menarik hatiku karena boleh jadi dekorasi bunga-bunga membuatku teringat sosok Radit. Kenapa? Aku terjebak di pestanya yang penuh dengan bunga waktu itu.

Yudha berkali-kali memegang tanganku lalu berkata, "Aila maafkan aku, aku tidak ingin kita berakhir. Maafkan aku Aila atas semua kesalahanku, aku berjanji akan memperbaikinya." Wajahnya memelas dan aku hampir saja merasa kasihan terhadapnya tapi itu sepertinya hanya omong kosong.

Kau tahu aku membalas apa?

"Oke Yud, jika itu janjimu kepadaku lantas kapan kamu akan membuatku bahagia? Mulai kapan lagi kamu hendak memperbaiki sikapmu yang akuh itu? Dan coba kamu jawab selama kita menjalin hubungan kapan terakhir kamu ingat untuk membuatku bahagia?"

Bisa ditebak Yudha langsung membisu. Aku tidak ingin kalah aku terus melontarkan kata-kata penuh amarahku kepadanya, menguras habis kesabaranku. "Ini bukan tentang memperbaiki hubungan kita atau tidak, bukan tentang bagaimana api kebencian ini bisa padam. Akan tetapi tentang kapan kamu bisa berjanji kepadaku dengan sepenuh hatimu tanpa kamu mengucapkannya kepadaku?"

Yudha masih tetap membisu seribu bahasa, aku tahu dia sedikit kesal dengan pertanyaanku. Karena dia memegang ikatan bunga itu dengan sangat kuat sapai terdengar suara kertak.

"Kamu tahu Aila, jika aku berjuang mengorbankan perkerjaanku hanya untukmu. Tapi apakah kamu tidak mengerti itu?"

"Demi aku? Bukan, kamu datang bukan demi aku!" jawabku tegas waktu itu menatap matanya kuat-kuat sampai dia sedikit malu dengan tatapanku. Sehingga aku dapat menyimpulkan dia datang ke Semarang bukan demi aku. Aku tahu dia mengorbankan perkerjaannya tetapi demi orang lain yang selama ini aku cari semenjak dia memutuskan pindah ke Bandung. Kau tahu, di situlah titik di mana awal sikap Yudha berubah.

Aku percaya jika seseorang yang kita cintai sikapnya mulai berubah berati tidak lama seseorang itu akan bermetamorfosis menjadi mantan. Aku pernah membaca itu dan apakah aku perlu belajar membaca karakter pria supaya aku tidak salah mendeskripsikan tentang Yudha?

Dan kenapa aku bisa merasa nyaman dalam pelukan orang lain? Aku sendiri merasa diriku berbeda ketika bersama Yudha dan seolah Radit berhasil membiusku dengan sikapnya yang dingin walau pelukannya sangat hangat beberapa hari yang lalu.

Radit di mana kamu? Aku butuh kamu. Aku butuh kamu menghapus air mataku. Kau tahu, air mataku jatuh lagi melihat sikap Yudha. Aku sayang kepadanya namun kenapa dia masih tetap seangkuh itu? Radit di mana kamu, apa aku perlu berbisik kepada angin? Lihatlah ke arah awan yang cerah itu apakah kamu di sana tidak merindukanku.

((BERSAMBUNG))

Aku juga rindu namun kita sudah jauh.

Terima kasih atas pastisipasinya dalam membaca cerita ini jika kamu suka silakan menekan bintang untuk memberikan vote atau mungkin kamu berkenan memberikanku sebuah komentar melalu kolom komentar yang terbuka lebar.

AILA RADIT

Aila dan Radit (OPEN PO)Where stories live. Discover now