Chapter - 11: As Ballad As Your Smile

Start from the beginning
                                    

Mengeluh pun sudah tak memiliki arti apa-apa dalam hidupku. Satu kata yang sebenarnya wajar sekali jika terlontar dari mulut seorang gadis yang sudah cukup belajar malu pada luka-lukanya.

Hari sudah membentangkan rambut hitam legamnya yang berbenik sebaran lintang. Menjelang tengah malam mama kembali meracau, dia mengaku migrainnya kambuh. Sudah dua hari ini dia mengeluhkan sakit di kepalanya. Sudah diperiksakan ke dokter, tetapi memang itu hanya sakit kepala biasa dan bersyukur bukanlah penyakit yang membahayakan. Di saat seperti inilah rasanya aku ingin marah pada keadaan. Saat harusnya Papa ada di sini dan ikut menjaga Mama, tetapi malah aku yang harus pontang-panting mengurus. Bukan berarti aku tak bisa mengurus Mama, hanya saja, aku khawatir sesuatu yang lebih menakutkan akan terjadi dan seandainya aku harus mengatasinya seorang diri.

Aku membuka tas obat, dan yang tersisa hanya vitamin saja. Mama mulai tenang, tapi aku khawatir dia akan merasakan sakit lagi malam ini.

Aku harus ke apotek membeli obat yang sama. Resep dari dokter selalu Mama simpan salinannya agar bisa dibeli kapan-kapan kalau sedang dibutuhkan. Aku bertanya-tanya, kenapa migrain harus memakai resep dokter?

Kuambil ponselku untuk menghubungi seseorang yang mungkin ... aku tahu ini memalukan ketika aku hanya menghubunginya ketika sedang dibutuhkan, sementara dia selalu mendapatkan abai yang sempurna dariku.

"Halo," suaraku serak menahan pilu.

"Iya, Lou?"

"Alex."

"Kamu kenapa? Malam begini belum tidur? Besok hari pertama kamu masuk sekolah."

"Mama kambuh."

Aku mendengar gerakan terkejut, gemeresak. "Gimana keadaannya, Lou? Kamu oke?"

"Obatnya habis. Aku mau nyari apotek."

"Ini kan udah larut banget."

Aku hanya terdiam, membuat isakan yang bermaksud isyarat agar dia mengerti aku sedang perlu bantuannya. Jujur harusnya dia tak akan pernah mau menolongku. Untuk alasan sesuatu yang telah aku gantung cukup lama padanya. Yah, bagaimana lagi, cinta dan waktu beriringan. Ada seseorang yang harus menunggu sampai waktu yang tepat. Aku salah satunya.

"Sekarang kamu di mana?" tanya Alex Antara dari kejauhan. Yang mungkin sudah berbaring di tempat tidurnya dan siap terlelap. Atau tadi terbangun karena panggilan dariku.

"Masih di rumah." Aku harap dia menangkap sinyalku dengan baik.

"Jangan beranjak dulu."

"Iya."

"Aku ke sana. Tunggu sampai ... lima belas menit."

Setelah memastikan Mama benar-benar lelap, aku menunggu Alex dari tangga depan rumah. Tak sampai lima belas menit akhirnya motor Alex berhenti di jalan depan rumah. Aku mendekatinya tanpa sepatah kata. Dia mengulurkan helmnya, aku memakai dengan cepat.

"Kamu baik-baik saja?" Alex, aku suka ditanya seperti itu. Semua perempuan senang dengan pertanyaan itu.

Aku mengangguk.

Motor berderap pelan di aspal. Tak mungkin aku memeluknya dari belakang untuk berpegangan, makanya aku hanya memegangi jaketnya untuk keselamatan.

Kalian tidak akan pernah tahu kalau aku tidak menceritakannya. Alex adalah sepupuku. Dia anak angkat kakaknya Papa. Dan satu lagi yang berusaha aku tahan, dia, menyukaiku.

Alex resmi menjadi anak angkat Om Irfan ketika dia kelas tujuh SMP. Iya, memang sudah besar dan kata Om Irfan tidak ada kata terlambat untuk menjemput Alex dari panti asuhan. Pernikahan Om Irfan memang tidak dikaruniai keturunan. Jika pada umumnya pasangan seperti mereka akan mengadopsi seorang bayi, tetapi Om Irfan dan istrinya langsung terpikat pada kepiawaian Alex dalam memainkan piano saat pergelaran ulang tahun panti yang mereka hadiri, kebetulan sebagai salah satu donatur acara.

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Where stories live. Discover now