18 : Pernikahan!

Mulai dari awal
                                    

Erick merasakan suaranya sedikit bergetar saat membicarakan Shaila.
"Dan cantik?" Sarah melanjutkan kalimat ayahnya dengan polos.

Erick tidak bisa menyembunyikan senyum geli di wajah. "Ya, ibumu sangat cantik, sama sepertimu saat ini. Namun lebih dari itu, ibumu wanita yang sangat baik. Terlalu baik untuk seorang pria seperti Ayah." Satu kalimat terakhir diucapkan begitu lirih. Ada kesedihan yang mendalam saat Erick mengatakannya, dan Sarah merasakan.

"Apa Ayah mencintai Ibu?" Pertanyaan Sarah membuat senyum Erick melebar.

"Tentu saja. Jika Ayah tidak mencintai ibumu, kau tidak mungkin ada di sini, Sayang." Erick mencubit pipi putrinya, gemas. Sarah menatap ayahnya dengan mata sendu. Wajah yang sempat ceria berubah sedih.

"Apa Ayah menyayangiku?" Erick terdiam untuk sementara waktu. Pertanyaan Sarah bagaikan dejavu untuknya.

"Apa Tuan menyayangi Nona Sarah?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Setidaknya itulah kalimat yang dapat mewakili perasaan Nona Sarah saat ini. Entah Tuan sadar atau tidak, tapi saya bisa melihat kesedihan saat Nona melihat Tuan."

Ucapan Abraham beberapa waktu lalu tiba-tiba berputar jelas di memorinya. Jadi selama ini ucapan Abraham memang benar. Erick menangkup wajah Sarah. Ditatapnya untuk pertama kali wajah putrinya yang kini telah tumbuh besar.

"Kalian berdua. Kau dan ibumu adalah sumber kehidupan Ayah. Jika kalian tidak ada, Ayah pun tidak akan ada di dunia ini." Diciumnya kening Sarah cukup lama.

Sarah merasakan kelegaan yang mendalam di dasar hati. Tanpa sadar air mata kebahagiaan mulai menetes di pipi. "Aku selalu menyayangi Ayah dan Ibu."

Haru dan bahagia menyelimuti hati mereka. Setidaknya kebahagiaan untuk sementara ini. "Jadi, apa kau siap?" Erick menjauhkan diri dan kembali berdiri, menjulurkan tangan ke arah putrinya. Sarah menghapus jejak air mata di wajah dan mengangguk dengan senyum lembut.

***

Sarah merasakan tangannya dingin dan berkeringat saat dia didampingi sang ayah turun dari tangga dan berjalan ke arah kebun bunga milik Shaila. Sarah merasa pandangan tiap orang tertuju padanya ketika mereka melangkah masuk altar.

"Ada Ayah di sampingmu. Jangan gugup, Sayang." Erick menepuk tangan putrinya yang melingkar di siku.

Sarah bisa melihat tamu undangan berdiri menyambut kedatangan dirinya, sang mempelai wanita. Dari sisi kiri, Sarah melihat para sahabat Steve duduk berkelompok dengan segala bisikan miring dan senyum aneh di wajah mereka, kecuali Bryan tentu saja. Lelaki itu selalu melemparkan senyum ramah kepada Sarah, termasuk saat Sarah melewatinya saat ini.

Lalu dari sisi kanan, Sarah melihat keluarga besar ayah, seperti Kakek Kenzo dan Nenek Angel yang melambaikan tangan. Lalu ada Kakek Freedy dan nenek Merry di pihak keluarga Ibu. Bahkan ada Bibi Joana yang datang dari London untuk menghadiri pernikahannya. Sarah menyayangi mereka semua.

"Sudah kuduga, Steve terpesona denganmu, Sayang." Bisikan lirih dari ayahnya membuat mata Sarah tertarik lurus ke depan. Hanya mendengar nama Steve, jantung Sarah kembali berdetak begitu kencang.

Sarah melihat seorang lelaki berdiri di depan altar dengan jas hitam membungkus elegan tubuh atletis. Rambut yang biasanya terlihat acak-acakan kini tertata rapi ke belakang. Sarah baru sadar bahwa alis mata Steve jauh lebih gelap dari rambut, dan hidungnya yang tinggi msncung menampilkan kesan arogan. Begitu tampan dengan aura maskulin di usianya yang masih terbilang belia. Sarah terpesona, hingga tidak menyadari telah berjalan makin dekat ke arahnya.

"Aku serahkan putriku kepadamu, Steve." Erick melepaskan tangan Sarah dan memberikannya kepada Steve.

"Dan aku menerimanya dengan senang hati, Ayah." Steve mengambil tangan Sarah, dan Sarah sesaat ingin menarik tangannya dari genggaman tangan Steve, tetapi Steve tidak ingin melepaskan.

"Aku tidak akan melepaskanmu, Sayang," bisik Steve tepat di depan wajahnya. Begitu dekat hingga Sarah merasa Steve ingin mencium, dan dugaannya ternyata benar. Steve tiba-tiba mencium bibirnya sekilas.

"Steve." Sarah termangu dengan wajah merah padam melihat senyum dan perlakuan Steve kepadanya.

"Menang banyak kau, Steve!"

"Cari kamar, Steve!"

"Wow! That's my dude!"

Suara decak gurau dari sisi kiri membuat Sarah tertunduk malu, yakin wajahnya saat ini merah padam. Semua sahabat Steve berteriak karena tindakan Steve, tetapi pemuda itu menanggapinya dengan senyum tanpa dosa di wajah. Seolah-olah perilaku Steve adalah hal biasa untuk mereka.

"Kau baru boleh mencium mempelai wanita kalau ikatan janji sudah terlaksana, Tuan Muda Steve." ucap penghulu suci kepada Steve dengan nada memperingatkan.

Lagi-lagi Steve hanya membalasnya dengan senyuman remeh di wajah. Steve melingkarkan tangan di pinggang Sarah dan berkata, "Maaf, aku tidak bisa menahannya. Calon istriku sangat cantik hari ini."

Pria paruh baya bernama Herbert itu pun hanya menggeleng, lalu berkata, "Baiklah apakah kalian sudah siap mengikrarkan janji suci pernikahan?"

"Yes, we're ready." Steve menjawab dan menatap Sarah dengan ekspresi tak terbaca.

Sarah tahu mulai hari ini hidupnya akan berubah. Tinggal satu atap dengan Steve, lelaki yang bahkan masih belum dia ketahui sifat aslinya.

Tears of Sarah [21+] / Repost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang