"Ayah?" Sarah yang sempat muram langsung kembali ceria. Rasa takutnya lenyap dalam hitungan detik.

"Iya, Tuan menunggu Nona untuk sarapan bersama." Marta tersenyum melihat kebahagiaan kecil di mata majikan mudanya itu. Sarah kemudian berlari keluar kamar, tak menghiraukan teriakan Marta agar Sarah berhati-hati. Sarah terlalu bahagia. Ini pertama kalinya Ayah mengajak makan bersama.

Sarah turun tangga dan disana Erick telah duduk di depan meja makan. Ayahnya mengalihkan mata sejenak dari surat kabar untuk melihat Sarah lewat sekelabat kecil.

"Duduklah."

"Iya." Sarah mengambil duduk di samping kanan Erick dan tersenyum senang.

"Makanlah. Pelayan sudah menyiapkan semua makanan ini untukmu." Erick menurunkan surat kabar dan meletakannya di samping kiri kursi. Sarah melihat berbagai masakan favoritnya ada di meja. Tanpa sadar Sarah mulai merasa lapar.

Setidaknya hampir 15 menit mereka makan tanpa sedikit pun suara keluar dari mulut. Sunyi dan hening, kecuali suara dentingan piring dan sendok kaca. Meskipun demikian, Sarah merasa sangat bahagia. Sarah tidak bisa menyembunyikan senyum gembira. Hal yang tidak luput dari penglihatan Abraham, yang berdiri di belakang kursinya.

"Kenapa Nona tidak berangkat bersama Tuan saja? Rute yang dilewati Tuan melewati sekolah Nona." ucap Abraham di tengah-tengah keheningan.

Erick yang mendengarnya kemudian tersedak. Dia mendelik marah kepada Abraham.

"Benarkah, Ayah?" Sarah mengangkat kepala dari piring dengan mata berbinar.

Erick membalas tatapan putrinya tersebut dan melihat keceriaan di mata yang bengkak itu. Sempat terpikir untuk menolak, tetapi melihat mata Sarah yang sembap dan memerah, membuat hati Erick sakit.

"Ya." Erick bergumam seraya mengangguk singkat. Matanya menarik diri dari wajah Sarah. Wajah yang kian lama menyerupai Shaila. Hanya, warna matanya jauh lebih mirip dengannya. Biru safir.

"Kalau begitu, aku akan siap-siap." Sarah beranjak dari kursi.

Sarah berlari kecil menaiki tangga demi tangga tanpa menghilangkan senyum. Sarah begitu bersemangat, hingga melupakan keinginan untuk membolos. Sarah memilih pakaian favoritnya yang tergantung nyaman di lemari. Renda putih bentuk bunga menambah daftar keindahan gaun berpotongan sopan itu.

Sarah membiarkan rambutnya yang mengikal panjang di ujung tergerai. Dilihat sekali lagi penampilannya lewat cermin hias. Polesan make up tipis di wajah sedikit membantu mengurangi wajah Sarah yang pucat. Sarah menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Digenggamnya liontin perak milik ibunya erat. Lalu dipandanginya foto ibu yang terpasang di sana.

"Ibu, ini pertama kalinya Ayah mengantarku." gumamnya lirih tanpa mengurangi keceriaan di wajah cantik. "Aku bahagia."

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Russell High School

"Tidak ingin masuk?" Bryan menyenggol lengan Steve yang masih setia bersandar santai di bodi mobil, bermaksud mengajak Steve masuk kelas bersama sahabatnya yang lain, tetapi Steve menolak.

"Tinggal setengah lagi." Steve mengisap rokoknya yang tinggal setengah.

"Ini terlalu pagi untuk merokok, Steve." Bryan menggeleng melihat sikap tak acuh Steve.

Bryan ikut bersandar, berkali-kali melirik ke arah Steve. Empat tahun mengenal Steve, tetapi tidak pernah sekalipun untuk Bryan dapat mengetahui apa isi kepala lelaki itu. Steve terlalu dingin dan penuh rahasia.

Bryan ingat bagaimana pertemuan awal Steve dengan Sarah. Steve memberikan sikap yang berbeda untuk Sarah, memberikan segala bentuk keramahan dan kenyamanan untuk gadis itu. Hingga Bryan tahu, ada sesuatu yang aneh dengan sikap Steve.

Mata Steve menunjukkan sebaliknya, selalu terselip aura dingin di antara sikap ramah dan bersahabat Steve kepada Sarah. Tatapan yang tidak bisa luput dari penglihatan Bryan. Bryan tahu, ada sesuatu di balik mata Steve saat menatap Sarah. Steve merencanakan sesuatu untuk Sarah. Namun apa? Kenapa?

"Kau sudah mendapatkannya?" tanya Steve tiba-tiba.

Bryan menatap Steve. Dilihatnya Steve telah membuang putung rokok dan menginjaknya ke tanah. Tubuhnya yang jangkung kini tak lagi bersandar. Bryan harus sedikit mengangkat kepala karena postur tubuh Steve jauh lebih tinggi darinya. Steve berdiri tegak dengan tatapan mata jatuh ke arah gerbang. Tarikan kecil di sudut bibir membuat rasa ingin tahu Bryan bertambah. Bryan ikut melihat ke arah pandangan Steve dan melihat seorang gadis keluar dari mobil.

Sarah?

"Berikan padaku." Steve mengulurkan tangannya kepada Bryan.

Bryan berpikir sejenak. Dia sempat ragu tapi kemudian membuka ritsleting pada tas ranselnya. Dia mengeluarkan selembar kertas putih kepada Steve, "Sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan, Steve?"

Steve tersenyum sinis, "Aku yakin kau pernah mendengar pepatah ini. Rasa ingin tahu yang besar bisa membunuhmu." Steve mengambil kertas itu dari tangan Bryan, lalu menepuk bahu sahabatnya itu. "Jadi berhentilah mencari tahu apa yang kupikirkan dan apa yang ingin kulakukan karena semua itu hanya aku yang mengetahuinya."

***

Sarah masih setia berdiri memandangi kepergian mobil hitam yang bergerak semakin jauh darinya. Sarah bahagia, dan itu masih tergurat jelas di wajahnya. Senyum mengembang dan rona merah di kedua pipinya merekah.

Namun senyum Sarah seketika pudar saat sebuah tangan menyentuh dan menarik dekat pinggangnya. Aroma tubuh, campuran antara bau rokok dan parfum maskulin tercium di indra penciuman Sarah. Suara serak familier turut terdengar di samping telinganya membuat tubuh Sarah membeku tiba-tiba.

"Berangkat bersama dengan Ayah tercinta. Mengharukan sekali."

Sarah merasa sebagian napasnya tertahan di tenggorokan. Suaranya tertelan tanpa mampu membalas. Suara laki-laki itu terdengar begitu menakutkan di telinganya, dan Sarah sangat membencinya.

"Kenapa diam?" Suara kekehan dan nada geli keluar dari mulut lelaki itu, "Kau benar-benar membuatku bergairah, Sayang."

Sarah memejam dan membuang wajahnya jauh-jauh dari Steve hingga ciuman yang tidak disangka-sangka datang dan jatuh ke pelipisnya, berhasil membuat tubuh Sarah bergidik ngeri.

"Ja-jangan sentuh!" Sarah meronta dan mencoba melepaskan diri, tetapi tangan Steve makin erat mencengkeram pinggangnya.

"Mulai sekarang, aku akan melakukan hal sebaliknya dari apa yang kau ucapkan kepadaku." bisik Steve parau, seolah-olah ucapan Sarah menjadi penyemangat aksinya.

"Jangan sentuh. Itu berarti kau ingin aku menyentuhmu." kata Steve disertai suara kekehan di mulutnya. Mata Sarah membelalak penuh rasa takut saat Steve begitu berani menggesekkan tangan ke salah satu anggota tubuhnya yang paling sensitif di bawah.

Tears of Sarah [21+] / Repost Where stories live. Discover now