Chapter 5 - That's It?

14.4K 697 11
                                    

Tristan

Thank God.

Dalam hitungan detik, yacht itu meledak begitu hebat, hingga apinya menyebar luas setelah kami berhasil keluar.

Kukendarai motor boat ini dengan meliuk ke kanan juga ke kiri menghindari semburan api dengan puing-puing yacht yang berterbangan dari ledakan hebat itu.

Sesaat, kurasakan pelukannya yang semakin erat, sangat erat juga kuat, seperti ketakutan. Perlahan, tangan kiriku meraih tangannya, mencoba mendekap tangan itu, dan dalam detik yang sama kulit dinginnya sangat terasa di kulitku, tidak seperti sebelumnya. Gosh, apa dia benar-benar ketakutan?

Pantai, daratan, apapun namanya, itu adalah tempat yang aku tuju sekarang. Matahari mulai mulai terlihat, sedikit demi sedikit hangat sinarnya mulai kurasakan di kulitku.

Entah berapa lama perjalanan dengan motor boat ini, aku tidak menghitungnya lagi, berharap kami sampai daratan dengan selamat dan tidak ada ombak besar yang akan menerjang kami mengingat bukan yacht yang kami naiki melainkan motor boat yang akan dengan mudah terombang-ambing hingga terseret oleh gelombang besar.

Pandanganku masih tertuju ke depan. Laut luas membentang, seperti tidak ada ujung. Tidak ada kalimat yang terdengar dariku ataupun darinya. Hanya semburan air laut juga mesin motor boat yang terdengar begitu keras.

'Utara,' suara batinku mulia terdengar.

'Teruslah ke utara.'

'Pantai itu seharusnya ada di sana.'

'Kami akan selamat, ya, selamat.'

Satu jam, dua jam, berlalu begitu cepat.

7.30AM

Sepintas aku melihat jam tanganku. Entah berapa lama lagi kami akan sampai. Kini kurasakan pelukankannya yang melemah, semakin lama semakin melemah hingga pelukannya hampir terlepas jika tangan kiriku tidak segera menggenggam kedua tangannya.

Tidak ingin mengambil resiko dia terjatuh, perlahan aku mengurangi kecepatan motor boat ini hingga berhenti.

"Apa kita sudah sampai?" kalimatnya terdengar pelan. Dia masih membenamkan wajahnya di punggungku.

"Belum," ucapku cepat, "hmm, aku akan memindahkanmu ke depan."

Bingung, itu ekspresi yang terlihat saat dia mendengar kalimatku. Mungkin dia mengira aku aku akan memintanya membawa motor boat ini.

"Tapi, aku..aku tidak bisa mengen.."

Kalimatnya terputus. Dengan satu gerakan cepat aku mengangkat tubuhnya hingga duduk di depanku, wajanya tepat berada di depan wajahku, dan kedua pahanya tepat berada di atas pahaku.

Blushing, terlihat begitu jelas di wajahnya. Oh God, dia bahkan terlihat begitu cantik saat seperti itu, dengan rona merah di pipinya.

"Dengan begini, kamu tidak akan terjatuh," ucapku datar, mencoba untuk tidak membuat pipinya semakin merah karena malu.

Satu anggukan terlihat darinya. Tangannya mulai memelukku. Kini, kurasakan jantungku yang berdetak dua kali lebih cepat, entah apa yang terjadi. Aku berusaha keras untuk menenangkannya, tidak ingin terlihat bodoh di depannya yang masih menatapku dengan tatapan yang sekali lagi aku tidak mengerti artinya.

Mesin motor boat mulai kuhidupkan kembali. Dalam detik yang sama dia mulai membenamkan wajahnya di dadaku.

"Berpegangan, jangan pernah melepaskannya," ucapku dengan napas yang menderu.

The Enemy in My Bed - #hackerseries 2.0 [✅] 🔚Where stories live. Discover now