Tiga Puluh : Bahagia Atau Kecewa?

35.9K 5.6K 2.3K
                                    

Pagi kembali datang menyapa. Cahaya matahari mengintip dari celah jendela yang gordennya tersingkap.

Nino masih bergelung di balik selimut. Setelah shalat subuh dia memutuskan untuk kembali tidur. Mengabaikan permintaan Aluna yang memintanya untuk jangan tidur lagi.

"Daripada tidur lagi mendingan baca Al Qur'an Kak. Tidur setelah Shalat subuh kan nggak baik karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai pahala yang berlimpah. Terbukanya pintu rizki dan datangnya barakah (banyak kebaikan). Masa Kakak mau melewatinya begitu saja? Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya. Orang-orang merugilah yang menyia-nyiakan waktu mudanya dan meratapi waktu tuanya.," Itulah yang Aluna ucapkan pada Nino.

Namun Nino hanya menanggapinya dengan cengiran. Dia tetap memilih untuk kembali tidur, "Janji deh ini terakhir kalinya aku tidur lagi setelah salat subuh. Aku ngantuk banget. Semalamkan aku cuma tidur dua jam," ucap Nino seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Aku juga kan cuma tidur dua jam."

"Yaudah kita bobo bareng lagi," ucap Nino seraya membuka tangannya lebar-lebar. Meminta Aluna untuk kembali menemaninya tidur.

"Kak Nino nyebelin!" gerutu Aluna. Pipinya bersemu merah.

"Tapi kamu cinta kan?" sahut Nino sebelum kembali tidur. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Aluna mengangguk pasrah. Meski Nino jahat, meski Nino nyebelin, dan meski Nino itu tidak romantis tapi tetap hatinya tidak bisa berpaling dari Nino. Padahal diluar sana ada seseorang yang lebih baik dari Nino yang rela menyerahkan seluruh hatinya padanya, namun sayang seribu sayang meski dia baik, tampan, perhatian, dan romantis cinta tidak berpihak padanya. Hatinya tidak bisa memilihnya karena memang dia tidak mencintainya.

Aluna menghentikan tilawahnya saat ponselnya yang dia simpan di atas nakas berdering nyaring.

Dia beranjak dari sajadahnya untuk mengambil ponselnya. Senyuman menghiasi wajahnya saat melihat id si penelepon.

"Assalamualaikum," ucap Aluna membuka pembicaraan. Dia mendudukkan tubuhnya di pinggiran kasur. Matanya menatap ke arah Nino yang masih terbungkus selimut. Terlihat seperti kepompong.

"Waalaikumsalam. Apa aku mengganggu waktumu?"

Aluna terkekeh, "Sepertinya Iya. Saat kau meneleponku aku sedang membaca Al Qur'an. Aku jadi harus menghentikan bacaan Al Qur'an ku gara-gara kau."

Terdengar suara helaan napas dari sebrang sana, "Tahu begitu aku tidak akan meneleponmu. Tapi semuanya sudah terlanjur jadi akan aku lanjutkan niatku."

Kening Aluna mengkerut bingung, "Kata-katamu terlalu baku, Ram."

Rama, si penelpon di pagi hari terkekeh, "Benarkah kata-kataku terlalu baku?"

Aluna mengangguk. Dia lupa kalau Rama tentu tidak akan dapat melihat anggukkannya itu.

"Oh iya. Bagaimana keadaan Arkhan? Aku sungguh mengkhawatirkannya."

"Alhamdulillah...," Aluna menghentikan ucapannya saat dia merasakan ada tangan yang memeluk pinggangnya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati kalau ternyata Nino sudah bangun, "Alhamdulillah keadaan Arkhan berangsur membaik. Cuman...," Lagi-lagi Aluna menghentikan ucapannya saat Nino berbisik padanya, "Aku ingin melemparkan ponselmu."

"Cuman apa Aluna?" tanya Rama saat Aluna tidak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Cu.. cuman Arkhan harus menjalani pengobatan selama satu tahun disini."

Nino yang sudah dalam posisi duduk di belakang Aluna mengeratkan pelukannya. Dia menyadarkan dagunya di bahu kiri Aluna. Dengan isengnya dia menciumi pipi kiri Aluna.

Aluna | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang