Empat : Suara Ombak

56.3K 6.5K 286
                                    

"Engkau harus membedakan antara orang yang meletakkan tulisanmu di hadapan matanya dan orang yang menitipkan tulisanmu pada angin. Tulisan bukan sekedar untaian kata-kata indah yang akan menghilang. Dia adalah ungkapan perasaan yang bersemayam di setiap hurufnya dan denyut impian hati manusia yang membakar setiap penderitaan dengan apinya."

DR. Aidh Al-Qarni

🕊 🕊 🕊

Di saat Nino sudah jatuh terlelap Aluna masih duduk termenung di atas  sofa. Matanya menatap ke arah jendela yang belum dia tutup tirainya.

Langit terlihat indah bertaburan cahaya bintang dan bulan, membuat pantai pun terlihat indah oleh cahayanya.

Sekilas Aluna menatap ke arah Nino. Akan sangat menyenangkan kalau saja dia dan Nino menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di pantai. Menikmati hembusan angin pantai yang sejuk, lembutnya pasir putih saat dipijak dan dinginnya sapuan ombak yang menyentuh ujung jemari kaki. Namun hal itu hanya akan menjadi harapan semu belaka.

Sayup-sayup masih dapat terdengar teriakkan nyaring Arkhan dan Jasmine yang masih asik bermain di pantai bersama kedua orang tua mereka.

Perlahan Aluna beranjak dari duduknya. Dia berdiri di balik jendela. Matanya menatap ke arah Arkhan yang tengah duduk di atas lembutnya pasir diapit oleh Ayah dan Bundanya.

Setetes air mata membasahi pipi Aluna. Pemandangan yang indah namun menyakiti hatinya.

Semua kesedihan, kesakitan dan penderitaan yang dirasakan olehnya bermuara pada Alka. Suami dari kakaknya sendiri.

Aluna kembali mendudukkan dirinya di atas sofa. Dia menarik napas dalam-dalam, berharap hal itu dapat mengenyahkan rasa sesak yang tengah menghimpit hatinya.

Jangan mendendam Aluna

Jangan mendendam Aluna

Jangan mendendam Aluna

Tiga kata itu terus Aluna ucapkan dengan suara yang pelan. Dia takut... Sangat amat takut kalau rasa dendam akan membawanya ke jurang kesakitan yang tiada akhir.

Perlahan dia mulai merebahkan tubuhnya di atas sofa. Dia sungguh bersyukur karena sofa yang ada di kamarnya berukuran panjang hingga membuat dia bisa nyaman tidur di sofa.

"Dari awal niat aku dan dia menikah bukan karena Allah... Aku memang mencintainya namun alasanku menikah dengannya bukan karena cinta namun karena aku ingin dia membawaku pergi jauh dari seseorang yang sangat aku benci," Aluna memejamkan matanya. Tanpa dapat dia cegah perlahan isak tangis mulai lolos dari bibirnya, "Apa Engkau akan marah padaku Ya Allah...  Apa Engkau kelak akan mengadiliku atas apa yang kini telah aku lakukan?"

Aluna terus bergumam disela isak tangisnya. Akalnya seakan hilang, tak berfungsi. Tentu apa yang dia lakukan akan mendapatkan pengadilan dari Allah.

Nino beranjak dari atas tempat tidur, dia hampiri Aluna. Dalam diam dia memperhatikan Aluna yang tengah menangis seraya terus bergumam. Perlahan dia berjongkok tepat di samping Aluna, dia belai lembut pucuk kepala Aluna yang tertutup kerudung berwarna hitam. Tidak ada kata yang terucap hanya belaian lembut, namun hal itu berhasil membuat tangis Aluna reda.

Dia menatap Nino dengan pandangan sendu, "Maaf bila tangisanku membangunkanmu dari tidurmu," ucapnya dengan suara yang terdengar sangat parau.

Aluna | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang