Dua Puluh Tujuh : Kenangan Yang Menyakitkan

33.8K 6K 1.7K
                                    

Enam tahun yang lalu. Kedua kakinya berlari menyusuri koridor rumah sakit, tangannya digenggam erat oleh sang kakak. Tak henti-hentinya hatinya melafalkan doa.

Ya Allah selamatkan Ayah dan Ibu Aluna...

Namun doa'nya tidak terkabul. Dia melihat Ayahnya sudah terbujur kaku di atas ranjang pesakitan. Dia menangis kuat. Terus memanggil Ayahnya.

"Ayah bangun.... Ayah bangun!" Dia berharap tangisan dan teriakan memilukannya dapat membangunkan Ayahnya. Seluruh tubuhnya terasa sakit, namun dia tidak bisa menjelaskan sakit seperti apa yang saat itu dia rasakan. Sungguh semuanya terasa sakit, sangat sakit.

"Aluna kamu harus sabar yah. Ini yang terbaik untuk Ayahmu," ucap seorang tetangga yang ikut melihat keadaan kedua orangtuanya.

Terbaik? Terbaik untuk siapa? Semenjak kepergian Ayahnya banyak tangisan yang mengiringi hidup mereka.

Dia, kakak dan Ibunya pernah tidak makan seharian penuh. Setiap malam dia mendengar ibunya selalu menangis. Ibunya terlihat tegar namun pada kenyataannya Ibunya hancur. Dia yang dicintai telah pergi dan Allah pun mengambil kedua kaki ibunya.

Dia dan Aliandra terus berjuang melawan rasa sakit.... Berjuang melawan kehidupan yang tak seindah cerita fiksi yang selalu keduanya baca.

Senyuman tetap terukir di wajah keduanya namun tanpa ada yang tahu hati keduanya selalu menangis. Menangisi kepergian Ayahnya dan menangisi kelumpuhan Ibunya.

Sungguh terkadang rasa kesal dan marah memenuhi hatinya. Dia menghujat Allah disetiap salatnya. Mempertanyakan banyak hal... Dia ingin kehidupannya kembali seperti semula.

Sentuhan lembut di tangannya menyadarkan Aluna dari kenangan masa lalunya yang menyakitkan.

"Semuanya akan baik-baik saja Aluna," ucap Nino menggenggam erat tangan kanan Aluna.

Aluna hanya diam. Matanya menatap Nino dengan pandangan kosong. Nino hendak memeluknya namun Aluna memilih untuk menghindar.

"Apa aku melakukan suatu kesalahan padamu?" akhirnya pertanyaan yang sudah Nino simpan selama berhari-hari terucap dari bibirnya, "Beberapa hari ini kamu seakan terus menolak keberadaanku di dekatmu."

Aluna memilih tetap diam. Bahkan dia mengalihkan pandangannya dari wajah Nino.

"Aluna," Nino kembali membawa tangan Aluna ke dalam genggamannya. Dia menggenggamnya dengan sangat erat hingga membuat Aluna tidak bisa melepaskan genggamannya, "Katakan apa salahku padamu."

Aluna tetap diam tidak bergeming. Bibirnya terkatup rapat.

Nino menghela napas panjang. Dia mengingatkan pada dirinya sendiri kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk meminta jawaban akan perubahan sikap Aluna padanya.

****

Perjalanan dari Berlin ke Jakarta akhirnya berakhir. Rasa sakit semakin menghantam hati Aluna saat dia mulai memasuki area rumah sakit. Semua bayangan enam tahun lalu semakin terlihat jelas.

Nino yang tahu akan rasa takut yang menyelimuti hati Aluna membawa tubuh Aluna ke dalam rangkulannya, untuk kali ini Aluna tidak menolaknya. Dia membutuhkan pegangan untuk meneguhkan pijakannya.

Perlahan Aluna mulai memasuki ruangan yang ditempati oleh Aliandra. Tangisnya tidak terbendung saat melihat keadaan Aliandra. Dia seakan kembali melihat sosok ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Dia menenggelamkan wajahnya tepat di samping kepala Aliandra. Isak tangis tak kunjung berhenti. Tangisan ketakutan akan kehilangan orang yang dicintai.

“Kakak... Dia yang telah menyebabkan Ayah pergi... Dan kini dia pun penyebab engkau dan Arkhan mengalami apa yang dulu Ayah dan ibu alami.... Kenapa harus dia yang Kak Alin cintai? Kenapa harus dia yang Allah jodohkan denganmu?”

Aluna | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang