Modus #28: Rahasia yang Terbongkar

33.2K 3.4K 531
                                    

"Lesu amat!" komentar Gailan ketika Ghazi masuk ke mobil.

Hari masih pagi, tapi Ghazi sudah seperti orang yang pulang setelah kalah dalam perperangan. Kacau, wajahnya kusut, dan tak bersemangat. Berbanding terbalik dengan Gailan yang dari tadi terlihat begitu ceria. Bibirnya mengulas senyum lebar.

"Yakin lo udah bisa nyetir?" tanya Ghazi mengabaikan komentar Gailan barusan. Tatapan Ghazi jatuh pada kaki Ilan yang beberapa hari lalu terkilir.

Gailan menggerak-gerakkan kakinya. "Udah nggak ada masalah," jawabnya gembira.

Setelah mengatakan itu, Gailan menghidupkan mesin mobil. Lalu ia menoleh kepada Ghazi dan berkata, "Berangkat sekarang?"

Ghazi mengangguk. Sejurus kemudian mobil melaju meninggalkan halaman rumah dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Gailan mengemudikan dengan kecepatan santai. Sambil mengemudi, Gailan bersenandung mengikuti irama musik yang diputar di stereo.

"Kok gue seneng gini ya ke sekolah?" tanya Gailan tiba-tiba, membuat Ghazi yang dari tadi melihat ke luar jendela menoleh. "Apa karena di sekolah gue bakal ketemu Joya makanya gue sesenang ini?" lanjut Gailan kemudian.

Ghazi hanya berdeham pelan dan memperbaiki posisi duduknya. Mendengar nama Joya disebut membuat Ghazi teringat kejadian di perpustakaan kemarin. Ghazi menghela napas panjang ketika rasa nyilu memenuhi dada.

Ternyata Joya serius dengan ucapannya. Semalam cewek itu sama sekali tidak menelepon atau pun mengirimkan chat kepada Ghazi. Ponsel Ghazi tidak seriuh malam-malam sebelumnya. Ketiadaan telepon dan chat dari Joya membuat Ghazi merasa sepi dan juga kehilangan.

Kehilangan. Satu kata yang Ghazi pilih untuk memaknai perasaan rumit yang ia rasakan saat ini.

"Cinta itu benar-benar aneh, ya, Zi!" kata Gailan seolah tidak menyadari perubahan suasana yang terjadi pada Ghazi.

"Cinta memang aneh," balas Ghazi. Cinta juga kejam karena datang dan pergi seenaknya tanpa peringatan, lanjut Ghazi di dalam hati.

***

Ghazi sedang berjalan di koridor menuju kelasnya. Tapi, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada begitu banyak pasang mata yang memperhatikannya. Orang-orang memperhatikan Ghazi seolah Ghazi adalah alien yang tersesat di bumi. Ghazi mulai merasa tidak nyaman ketika orang-orang itu berbisik-bisik dan disusul tawa geli, seakan-akan menertawakan Ghazi.

Ghazi mengepalkan tangannya, lalu berbisik dalam hati, pasti hanya perasaan gue aja.

Tapi, semakin jauh Ghazi memasuki koridor sekolah, semakin banyak pasang mata yang memandanginya. Bahkan kini ada yang berani menunjuk-nunjuk ke arah Ghazi lalu tertawa terbahak-bahak.

Ghazi berhenti, lalu memperhatikan penampilannya. Mungkin saja ada sesuatu yang salah pada dirinya yang membuat orang-orang memperhatikannya. Tapi, tidak ada satu pun yang salah. Ghazi tetap memakai seragam seperti  biasa. Sepatunya juga tidak berbeda warna. Intinya tidak ada hal apa pun yang bisa mengundang orang lain untuk menertawakannnya.

"Zi, di rumah gue ada banyak boneka, tuh. Punya adik gue! Lo mau nggak?" celetuk salah satu siswa yang Ghazi tahu dari kelas X.2. Setelah mengatakan itu cowok itu tertawa bersama teman-temannya.

"Di rumah gue juga ada tuh. Kalo lo mau bisa gue bawain juga. Gratis deh buat lo!" celetuk yang lain, kali ini cowok berkacamata yang Ghazi tahu teman sekelasnya. "Gue nggak tahu kalo lo ternyata manis juga!" Lalu cowok itu tertawa geli.

Sementara Ghazi membeku di tempatnya. Tangannya terkepal erat. Boneka, satu kata yang cukup bagi Ghazi untuk sadar apa yang telah terjadi. Rahasianya sudah jadi konsumsi publik.

MODUS [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now