Modus #23: Sentuhan dan Detak Jantung yang Menggila

38.4K 3.6K 1.2K
                                    

"Gue masih nggak percaya lo jadian dengan Kak Ilan," kata Friska seraya geleng-geleng kepala.

Saat itu jam pulang sekolah. Joya, Friska dan Retno masih di kelas karena jadwal piket. Tapi, setelah kelas bersih, mereka tidak langsung pulang. Retno dan Friska masih menahan Joya untuk bertanya tentang hubungan Joya dengan Gailan.

Padahal kemarin Joya sudah menjelaskan semuanya. Bahwa ia dan Gailan sudah resmi berpacaran. Juga sudah beberapa kali kencan. Satu-satunya yang tidak Joya ceritakan hanya, insiden memalukan ketika dirinya mau mencium Gailan. Biarlah insiden itu menjadi rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya, Gailan, Ghazi dan juga Tuhan. Tapi meskipun Joya sudah menjelaskan, Friska dan Retno masih tidak memercayainya.

"He-eh," sahut Retno. "Mustahil banget. Lo lagi kejatuhan bulan!"

"Tapi Kak Ilannya kejatuhan monyet!" sambung Friska.

Plak!

Joya memukul bahu Friska dengan kesal, sementara Friska meringis memijat bahunya. Gimana Joya tidak kesal coba. Masa imut-imut gini dibilang monyet. Kalau harus memilih, dia lebih suka disamain dengan panda. Lebih imut soalnya.

"Eh, kalo sirik jangan ngehina dong. Kak Ilan itu suka sama gue. Katanya gue ini imut," balas Joya pongah.

"Ya lo emang imut. Seimut monyet," Friska masih meledek.

Joya sudah siap menabok Friska lagi, tapi cewek itu langsung ngacir dan berlindung di belakang Retno.

"Udah, ah! Ntar gue lagi yang kena tabok." Retno berusaha melerai. Lalu, "Lo nggak pake peletin kak Ilan, kan, Joy?"

Joya mendengkus. Pipinya memerah mendengar tuduhan teman-temannya. Masa sih cewek seimut dia main hal berbau mistis begitu? Kalo pun mau memelet cowok, mending Shawn Mendes sekalian aja. Keren, tajir, perut roti sobek dan terkenal lagi. Mana tahu ia bisa ikut terkenal, kan?

"Emangnya kan Ilan itu ikan gurami yang mesti gue kasih pelet?"

"Nggak usah pura-pura bego gitu deh, Joy. Ngaku aja. Lo pasti pelet Kak Ilan pake Jaran Goyang, kan?" tuduh Friska, ternyata masih tidak terima Joya jadian dengan Gailan.

"Terserah lo berdua, dah. Percuma juga gue jelasin karena lo berdua nggak bakal percaya."

Joya mendorong kursi ke belakang, lalu berdiri. "Gue mau latihan taekwondo dulu. Sekalian ketemu yayang gue," pamitnya dan melenggang pergi.

***

Turnamen taekwondo akhirnya tiba. Minggu pagi, Joya dan Ghazi sudah duduk di tribun di gedung gelanggang yang digunakan sebagai venue turnamen. Tribun mulai ramai diisi oleh para penonton yang datang dari berbagai sekolah untuk mendukung atlet sekolah mereka.

"Lo kok nggak ikut bertanding?" tanya Ghazi kepada Joya yang duduk di sampingnya.

Joya menoleh, lalu menjawab, "Nggak kepilih. Klub masih menganut paham senioritas."

"Maksud lo yang diikutsertakan itu para senior?"

"Lo tau sendirilah. Dimana-mana kan gitu. Pasal pertama, senior selalu benar. Pasal kedua, kalau senior salah kembali ke pasal pertama. Lo ingat kan aturan itu?" Joya memasang cengiran lebar.

Ghazi mengangguk. Tentu saja ia ingat aturan itu. Aturan yang selalu digunakan para senior untuk menindas junior ketika masa orientasi. Aturan yang sudah mendarah daging dan sulit untuk dihilangkan.

"Omong-omong lo kok nggak ngajak Hazel?" tanya Joya mengubah topik pembicaraan. "Kan lo bisa sekalian jalan berdua ntar."

Ghazi menghela napas panjang. "Hazel lagi sibuk untuk pindahan."

MODUS [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang