Modus #18: Hati yang Jatuh Cinta

36.2K 3.7K 691
                                    

Foto-foto tertempel pada styrofoam berwarna biru pucat yang direkatkan pada dinding. Krisan menatap dan menyentuh foto-foto itu satu per satu, dan bibirnya tersenyum. Foto-foto itu berisi objek yang sama, Ghazi Airlangga, yang diambil secara diam-diam.

Krisan tidak pernah menyangka akhirnya ia punya kesempatan berkenalan secara langsung dengan Ghazi. Keberanian itu muncul karena insiden tabrakan di tangga menuju perpustakaan. Krisan menganggap, mungkin sekarang sudah saatnya ia keluar dari cangkang cinta platoniknya kepada Ghazi.

Krisan tidak akan pernah bisa lupa pertama kali ia menyukai Ghazi.

Saat itu MOS, semua siswa baru dibariskan di lapangan sekolah. Para senior tidak peduli matahari yang bersinar terik. Krisan yang lupa sarapan, mulai merasa pusing karena panas yang menyengat. Ubun-ubunnya seperti disiram timah panas. Keringat mulai membasahi wajahnya.

Tiba-tiba murid laki-laki di hadapannya mundur selangkah. Gerakan itu membuat Krisan mendongak, menatap punggung yang kini melindunginya dari sengatan matahari. Lalu, murid laki-laki itu menoleh ke belakang, dan tersenyum.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya dengan suara berbisik dan hati-hati. Takut diketahui senior sedang berbicara.

Krisan menatap wajah itu, lalu mengangguk.

"Syukurlah," kata murid laki-laki itu lalu kembali menghadap ke depan.

Krisan menatap punggung di hadapannya. Punggung itu basah oleh keringat. Krisan tidak bisa mengalihkan tatapannya dari sosok murid laki-laki tersebut.

Itulah pertama kalinya Krisan tersentuh oleh perbuatan seseorang. Hatinya menghangat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Krisan tahu, murid laki-laki itu sudah membuatnya jatuh hati.

***

Ghazi sungguh tidak mengerti bagaimana kinerja hati dan perasaan seseorang. Bagaimana bisa hati ini merasa sakit hanya karena melihat orang yang disukai murung? Ghazi menghela napas panjang. Mulai tidak tahan dengan sesak yang memilin-milin hatinya karena melihat Hazel termenung dan murung.

Ghazi menutup bukunya, lalu mendorong kursi ke belakang dan berdiri. Ia berjalan mendekati Hazel. Ghazi menarik kursi di sebelah Hazel dan duduk di sana. Hazel sama sekali tidak menyadari kedatangan Ghazi.

Saat itu istirahat. Kelas X.3 sepi. Murid-murid memilih hijrah ke kantin untuk mengisi perut. Mereka butuh energi karena tadi habis terkuras oleh ulangan Fisika. Ghazi sebenarnya mau ikut Dimas ke kantin. Tapi melihat Hazel yang tidak bergerak dari tempat duduknya membuat Ghazi mengurungkan niatnya.

Ghazi memperhatikan wajah Hazel. Hidung cewek itu merah, seperti sedang flu. Kelopak matanya bengkak dan merah.

"Zel," panggil Ghazi, tapi Hazel tidak merespons.

"Hazel," panggil Ghazi sekali lagi, kali ini sambil menyentuh tangan Hazel.

Hazel tersentak dari lamunannya lalu menoleh kepada Ghazi.

"Ngapain kamu di sini?" Itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Hazel.

"Temani kamu," jawab Ghazi.

Hazel menatap Ghazi. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi terkatup lagi. Akhirnya Hazel malah menggeleng dan menarik napas panjang.

"Kalo kamu mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan."

"Kamu nyindir?" Hazel tertawa sinis.

"Bukan nyindir, tapi peduli,"  koreksi Ghazi. "Menangis bukan berarti kamu lemah. Menangis berarti kamu masih punya perasaan. Semua orang pernah menangis. Kalo menangis bisa membuat kamu merasa lebih baik, menangis aja. Nggak usah ditahan-tahan. Nggak usah malu."

MODUS [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now