Sembilan Belas : Bait Pertama Dalam Cinta

Mulai dari awal
                                    

Si Duyung menangis, ia marah pada lautan...

"Kau tidak adil Lautan!" teriak si Duyung pada Lautan, "Kau menciptakan batu karang untuk menjadi teman sejati ombak namun kenapa kau tidak menciptakan satupun teman untukku?"

Si duyung kecil yang malang, tidak ada teman bermain untuknya, ia kesepian dan ia benci harus hidup dalam kesepian.

Ikan-ikan tidak mau berteman dengannya, para ikan membencinya.

Sejauh mana ia berenang menjelajahi lautan, hanya kesepianlah yang ia dapatkan.

Aluna menghentikan gerak tanganya yang menari diatas keyboard. Dia membaca kembali setiap kalimat yang sudah berhasil dia rangkai. Dia suka membaca, malah terbilang sangat suka namun ia tidak mampu menulis. Ratusan novel telah ia baca, dari genre romance hingga horror namun tidak ada satupun novel yang berhasil ia buat. Yang mampu dia buat hanyalah cerpen, dan kini dia tengah membuat sebuah kisah si Duyung yang kesepian khusus untuk Jasmine yang dua bulan lagi akan bertambah umurnya.

Aluna berusaha berimajinasi tentang apapun agar cerita si Duyung dapat segera dia selesaikan tapi sialnya bukannya dapat ide yang menari-nari dikepalanya malah sosok Nino yang kini sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Tepat di sampingnya.

Setelah salat Dhuha dan dzuhur Nino memang memutuskan untuk berbaring di atas tempat tidur Aluna. Memperhatikan Aluna yang terlihat tengah serius membuat cerita.

"Gimana sudah jadi belum?" tangan Nino iseng memelintir rambut Aluna yang kini tergerai, ini permintaan langsung Nino pada Aluna. Dia meminta Aluna tidak menggunakan kerudung saat hanya berada berdua dengannya di apartemen sebab dia sangat suka melihat rambut panjang Aluna yang tergerai.

Aluna yang kini kembali tenggelam dengan kegiatannya, tidak menanggapi pertanyaan Nino.

Si Duyung tersesat... Ombak marah padanya. Ombak menyapunya hingga ke negeri yang sama sekali tidak ia kenali.

"Itu apa?" tanya si Duyung kebingungan, saat melihat pemandangan di hadapannya, ada sebuah istana di dekat pantai. Itu bukan istana pasir yang sering ia lihat namun itu istana sungguhan. Benar-benar istana yang megah dan indah.

Si Duyung ingin mendekat, namun ia tidak bisa, kalau ia tetap memaksakan yang ada tubuhnya akan merasa sakit karena bergesekan langsung dengan pasir.

Si Duyung bersembunyi dibalik batu karang yang sangat besar, dari sana ia selalu memperhatikan apa saja yang terjadi di bibir pantai.

"Pangeran," Si Duyung bergumam pelan saat melihat pangeran kecil yang setiap sore selalu duduk di bibir pantai menanti senja menyapa lautan.

Nino membaca setiap kalimat yang Aluna ketik di laptop, "Pasti pangeran itu Arkhan dan si Duyung itu adalah Jasmine. Benarkan tebakanku?" tanya Nino sok tahu.

Lagi-lagi Aluna mengabaikannya. Lama-lama tentu hal itu membuat Nino kesal.

"Aluna istriku tersayang, kalau orang nanya itu di jawab," ucap Nino tepat di samping telinga Aluna, tangannya memeluk bahu Aluna dengan erat.

Panggilan istriku tersayang berhasil menarik perhatian Aluna. Dia menoleh sekilas pada Nino, "Ada apa?"

Nino mengecup pipi kiri Aluna, "Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit kesal karena kau mengabaikanku."

"Maaf," Aluna berucap menyesal.

"Maafmu tidak diterima!" Nino memasang wajah tegas.

"Ih kok Kak Nino gitu sih?" tangan Aluna menyentuh tangan Nino yang masih bertahan mendekap bahunya, "Sekarang tanganku ada di atas tangan Kak Nino, bila Kak Nino benar-benar marah atas apa yang barusan aku lakukan maka aku lebih rela Kak Nino memukul tanganku hingga Kak Nino bersedia memaafkanku."

Nino menatap Aluna dengan aneh.

Memukul? Demi Allah dia tidak akan melakukan hal itu pada Aluna.

"Kenapa kau mengatakan itu."

"Ridho suami adalah ridho Allah. Jika Kak Nino sedang marah, maka aku akan membuat Kak Nino jadi ridha dan Apabila aku sedang marah, maka buatlah aku ridha dan jika tidak maka kita tidak akan menyatu. Aku tidak ingin hal itu terjadi."

"Aku hanya bercanda, Aluna. Aku sungguh tidak benar-benar marah padamu," Nino memeluk tubuh Aluna dengan erat. Dia mencium kening Aluna lama, "Aku meridhoimu dan aku berharap Allah pun ridho atas dirimu."

Aluna membalas pelukkan Nino dan mengamini ucapan Nino, "Ingatlah Kak, ketika aku marah jangan lawan aku dengan kemarahan pula tapi lawanlah kemarahanku dengan kelembutanmu dan itupun yang akan aku lakukan padamu."

Nino mengangguk.

Lihat Nino sebenarnya apa yang sedang kau cari? Wanita yang ada dalam dekapanmu adalah wanita yang mengerti akan kedudukannya sebagai seorang istri tapi kenapa kau malah tak bisa mencintainya dan hendak menyia-nyiakannya?

Aluna mendongakkan wajahnya saat dia merasakan helaan napas Nino menyapu pucuk kepalanya, "Kenapa Kak Nino menghela napas?"

Nino mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya tidak boleh?"

"Bukan tidak boleh, namun helaan napas Kak Nino barusan memiliki arti kalau Kak Nino tengah merasakan kecewa akan suatu hal. Apa yang membuat Kak Nino kecewa?"

Tubuh Nino seketika membeku. Dia tidak menyangka kalau Aluna dapat menangkap arti dari helaan napasnya. Ya, helaan napasnya barusan adalah bentuk dari rasa kecewa yang dia rasakan pada dirinya sendiri. Rasa kecewa akan perasaannya yang seakan tak pernah mau bekerjasama dengannya.

Aluna menyandarkan kepalanya di dada Nino, dia dapat merasakan detak jantung Nino dengan jelas. Perlahan dia memejamkan matanya. Tanpa harus menunggu jawaban dari Nino, Aluna telah tahu jawaban dari apa yang barusan dia tanyakan karena semuanya terlihat jelas dari sorot mata Nino.

Cinta tidak bisa dipaksakan, Itulah bait pertama dalam cinta.

Bogor, 23 Rabi'II 1439H

Aluna | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang