Part 22

720 67 3
                                    

Saya gagal memahami bentuk bahasamu. Seperti saya gagal memahami kata pamit dari matamu.

-ArkanJoneaAlistair-


〰️〰️〰️

Pagi hari menyambut salam bagi seluruh alam semesta. Mata bengkak, muka lesu, dan tubuh lelah. Dengan penampilan yang sedikit lagi mendekati kata stress. Zahra berjalan gontai menuju kamar mandi. Mungkin mandi dengan air dingin bisa menghilangkan bebannya sedikit saja.

Semalaman dia memikirkan permintaan orangtuanya yang sialnya sudah disanggupinya. Dan kalian tahu, Zahra bahkan tidak tidur. Semalam saat dia selesai membicarakan kepindahannya, hal pertama yang dilakukannya adalah menelpon Alea.

Bagaimana respon Alea saat diberitahukannya? Awalnya dia setuju karena dia berpikir dengan seperti itu dirinya bisa melupakan Arkan. Namun setelah itu dia langsung mewek katanya ia akan kehilangan sahabat 'sok tegas, sok kuat, sok dingin'. Huft, untung saja dirinya punya stok sabar yang banyak.

Setelah memakai seragam sekolah kebanggaannya untuk terakhir kalinya. Dia akan siap ke sekolah. Dan akan memperbaiki segalanya untuk dapat ia tinggalkan dengan baik.

Sarapan pagi seperti biasa. Bayu dan Sintia sudah siap mengantar Zahra ke sekolahnya sekaligus membereskan segala berkas kepindahannya.

"Pamitan ama teman-temanmu. Jangan lupa jam 12 udah sampai di rumah. Pesawat kita berangkat jam 1, sayang." Sintia mengecup kening Zahra dan beranjak ke ruang kepala sekolah bersama Bayu.

Sudah berapa kali Zahra menghembuskan nafasnya dengan berat. Langkahnya terhenti, dipejamkan matanya sembari berucap dalam hati, I'm ready.

Setelah berpamitan pada seluruh teman-temannya dan juga beberapa guru. Dia berjalan menyusuri koridor sekolah. Kan dia ingat segala kenangan terjadi di tempat ini. Saat ini yang menjadi dilemanya adalah apakah dia berpamitan langsung atau lewat ponselnya saja dengan Arkan? Dia bingung.

Kakinya menuntunnya ke taman berada di pojok sekolah. Di sini suasananya sangat tenang dan indah. Saat kakinya makin masuk ke dalam taman, matanya menangkap sosok Arkan di sana.

Sementara itu, Arkan sedang duduk di bangku taman merasa ada memperhatikannya. Kepalanya berputar ke belakang dan matanya terkunci dengan iris mata cokelat tak jauh dari tempatnya.

"Kamu di sini? Duduklah!" Arkan tersenyum lalu menepuk-nepuk bagian sebelahnya.

Dengan canggung, Zahra berjalan mendekati menurutinya. Suasana semakin akwrad. Sampai dehaman Zahra memecah keheningan.

I believe I can do it, ujar Zahra membatin.

"Hmm, apa kabar?" tanyanya.

"Baik. Tapi aku rasa kamu kurang sehat," ucap Arkan.

"Kenapa?" Zahra bingung.

"Aku rasa kamu akhir-akhir ini menghindariku, bukan begitu?"

Damn it, aku ketahuan. Gimana ini? rutuk Zahra dalam hati.

"Hanya perasaanmu saja."

Mengapa dia menatapku seolah-olah ada raut sedih dan kecewa. Ah, aku terlalu banyak pikiran jadi seperti ini. Tidak, aku tidak boleh berharap atau hanya sekedar memimpikannya bersamaku.

Zahra tersenyum miris menutupi segala pemikirannya. Ditatapnya dalam manik mata Arkan. Senyuman tulus terukir di bibirnya.

"Bulan dan bintang itu memang dekat tapi keduanya sulit untuk bersatu. Walau ada satu bintang selalu memancarkan cahaya terbaiknya dari ratusan bintang lainnya. Namun, sang bulan tidak akan pernah melirik cahayanya." Zahra tersenyum makin miris sambil memandang bunga di taman itu.

"Maksud kamu bagaimana?" Arkan menatap wajah Zahra.

"Haha, keren kan kata-kataku. Iyalah Zahra gitu loh," ujar Zahra tertawa hambar berusaha menutupi maksud sesungguhnya.

Dan benar saja, Arkan ikut tertawa. Waktu keduanya dihabiskan di taman itu. Hanya keheningan dan sepi menemani mereka. Sampai pada Zahra beranjak berdiri.

Jangan nangis, Ra. Tahan, tahan, pliss! Zahra bergumam dalam hati.

"Kak, aku pergi. Jaga diri baik-baik. Good bye." Zahra mengukir senyum lalu setelahnya berjalan menjauh.

Setetes air bening itu jatuh kemudian disusul yang lainnya. Zahra menertawakan dirinya sendiri. Emang dirinya tidak bisa merasakan kebahagiaan pada cinta itu. Miris sekali diriku.

Masuk ke toilet dan membersihkan wajahnya. Setelah penampilan sudah diyakini baik dan tidak mencurigakan tentunya. Dia keluar lalu berjalan ke kelas mengambil tasnya.

Alea ikut mengantar Zahra ke bandara. Dia sudah meminta izin pada guru BP. Saat sudah sampai di bandara setelah sempat pulang ke rumah, kedua gadis itu berpelukan erat menuangkan air mata atas perpisahan mereka.

"Jangan lupa setiap malam hubungi gue yah. Ingat liburan nanti, gue akan nyusul ke sana." Alea menyeka air matanya dengan bibirnya dikerucutkan seakan tidak rela ibunya pergi.

"Aye... aye... bos."

Keduanya terkekeh dengan kelakuannya sendiri. Lalu berpelukan lagi. Zahra menatap lekat sahabatnya itu. Selanjutnya bi Yanti dengan berurai kesedihan memeluk Zahra dengan hangat. Setelah itu, Zahra berjalan mengikuti orangtuanya untuk mulai check-in.

〰️〰️〰️

TBC

Arkan mah gak peka. Tuh kan Zahranya udah pergi. 😒 Kzl....

Jangan lupa bintang dan komentarnya untuk part ini 😉

21 April 2019
Ig: @lilis_ata77

CCTV ✔️Where stories live. Discover now