Epilog

180 8 5
                                    

"Keluarga ku hancur, Raka.." keluh Lorna sambil mendentingkan sebuah gelas kaca dengan kuku jari yang berada di depannya.

"Eiii.. Tidak Kamu saja yang mengalaminya-" balas Raka.

"-Permasalahannya berbeda. Adikku tidak bisa diajak toleransi lagi. Aku hampir saja membunuhnya tadi," kini gelas kaca itu sudah digenggaman tangan Lorna. Oh, bukan genggaman. Tepatnya cengkraman.

Raka mencoba merebut gelas itu, "Kau bisa memecahkan gelasnya.."

Lorna membebaskan gelas tersebut. "Bisa-bisanya melaksanakan pernikahannya di saat Oma sedang kritis!"

Sang Oma, Liviana Ambrose hanya mempuanyi dua cucu, yaitu Lorna dan Eden. Liviana mendidik kedua cucunya dengan penuh perhatian dan sangat berhati-hati. Sebenarnya untuk anak zaman sekarang didikan Liviana sudah tidak relevan lagi. Alhasil, ada dua kemungkinan hasilnya, yaitu sukses besar atau gagal total.

Lorna, anak yang sangat patuh, tidak pernah merokok, tidak pernah menyentuh alkohol, tidak pernah seks bebas. Jangankan seks bebas, berbicara dengan lelaki saja seadanya. Raka? Raka sangat feminim. Dia penyuka sesama jenis.

Lorna sangat menyayangi Liviana. Bahkan Ia tidak keberatan untuk tidak menikah hanya untuk menemani Liviana sampai akhir hayat. Berkat didikan Liviana, Lorna menjadi orang yang teguh, konsisten, dan tentunya berilmu tinggi. Lorna bekerja sebagai seorang wartawan di salah satu media cetak. Mengapa lebih media cetak padahal ini di zaman milenial? Lorna tidak menyukai televisi, apalagi internet.

Eden adalah tipikal orang yang semakin dikekang, semakin menjadi. Kebalikan dari Lorna, segalanya.

Memang keluarga Ambrose sudah tidak sekaya dulu karena Ayah dan Ibu dari Lorna dan Eden sudah meninggal. Awalnya ada seorang pegawai yang mengelola perusahaan keluarga Ambrose. Tapi, ditangan orang lain memang tidak bisa diandalkan. Akhirnya, sebelum mengalami kebangkrutan, Liviana menjual perusahaan tersebut dengan harga fantastis sehingga bisa menghidupi kebutuhan Lorna dan Eden hingga sekarang. Percayalah, harta Ambrose tidak akan habis hanya dengan satu keturunan.

"Sudahlah, jangan menangis.." kata Raka menenangkan Lorna.

"Aku hanya merasa kasihan pada Oma. Oma hanya memiliki kami," lirih Lorna lagi.

Sempat ada keheningan di antara mereka, sampai akhirnya Raka membuka suara. "Tapi, Aku tidak bisa membiarkan diri mu larut dalam kesedihan.." Raka membuka suara.

Lorna mengerutkan dahinya, "apa maksud mu?"

"Maksud ku.. Lihat diri mu! Kau bahkan tidak masuk kerja selama tiga hari! Aku berani bersumpah atas nama Tuhan, pasti ada ratusan panggilan tak terjawab dari redaktur mu, dan sebentar lagi kau akan dipecat!"

"Kau tidak boleh semudah itu untuk bersumpah," tegur Lorna.

Raka memutarkan bola matanya, "Baik. Hal lainnya, Aku berani bertaruh, bahkan Kau belum makan sejak kemarin pagi saat Kau bertemu dengan ku. Lingkaran hitam ini juga," ucap Raka sambil menunjuk kerutan berwarma hitam pada wajah Lorna.

Lorna kembali mengabaikan Raka, ia sungguh panik dengan keadaan Oma-nya. "Aku sibuk mencari dokter bedah yang bisa menangani Oma ku, Raka! Dokter terbaik pun hanya bisa menjamin 5% dari keberhasilan operasi Oma. Jadi, berhenti menyudutkan ku!" balas Lorna.

Raka menggenggam telapak Lorna yang sudah bergemetar. "Aku tidak menyudutkan mu. Aku hanya ingin  menyadarkan mu bahwa, kau sudah berusaha keras. Bagaimana pun kenyataannya nanti, kau sudah melakukannya dengan baik, Lorna.." tutur Raka sambil menatap Lorna.

"Kau tahu, dirimu juga manusia, Lorna. Tidak ada manusia yang bisa melakukan segalanya dengan baik, seperti yang Kau lakukan selama ini.." tambah Raka.

"Aku hanya berusaha untuk menjadi sebaik mungkin, Raka. Semua itu karena Oma, Aku tidak mau mengecewakan Oma," jawab Lorna dengan wajah sendu.

One Degree / 1°Where stories live. Discover now