Sebelas : Menetapkan Perasaan

Start from the beginning
                                    

Aluna mengamini doa Kakaknya dan membalas pelukkan Kakaknya tidak kalah erat. Dia sungguh bersyukur karena Allah telah menganugerahinya seorang kakak yang sangat baik.

Tanpa Aluna dan Aliandra sadari di balik pintu kamar Aluna ada seseorang yang mencuri dengar pembicaraan mereka.

***

Aluna berusaha melangkahkan kakinya setapak demi setapak. Tangannya bertumpu pada dinding. Dia harus memaksakan kakinya untuk kembali dapat berjalan. Dia tidak bisa terus membiarkan kakinya bermanja-manja. Dia tidak boleh terus-menerus menyusahkan Nino.

"Aluna."

Aluna menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Dia tersenyum saat melihat sosok Nino telah berdiri di ambang pintu.

"Kak Nino sudah kembali. Tadi habis pergi kemana?"

"Kau sedang apa?" bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Aluna, Nino malah balik bertanya.

"Aku sedang belajar berjalan. Aku tidak mau terus-terusan merepotkan kakak."

Nino menghampiri Aluna. Seperti biasa tanpa permisi terlebih dahulu pada Aluna dia membawa tubuh Aluna ke dalam gendongannya.

Aluna sudah terbiasa dengan hal itu, oleh karena itu dia membiarkan Nino menggendongnya.

"Kau baru boleh belajar berjalan dua hari lagi. Biarkan dulu pergelangan kakimu istirahat. Dan jangan belajar berjalan sendiri. Bagaimana kalau kau terjatuh? Siapa yang akan menolongmu."

"Aku bukan anak umur satu tahu Kak Nino. Umurku sudah mau sembilan belas tahun. Jadi jangan perlakukan aku seperti anak kecil."

Nino mendudukkan Aluna di pinggiran kasur. Dia berlutut di depan Aluna.

Aluna mengerjapkan matanya. Bingung dengan tingkah Nino yang cepat sekali berubah-ubah seperti bunglon. Hal itu membuat dia kesulitan untuk menebak apa yang tersimpan di hati Nino. Yang terlihat jelas dari Nino hanyalah tentang cintanya pada Aliandra selain itu semuanya buram.

"Aluna Maafkan aku."

"Maaf untuk apa?"

"Maaf karena tadi aku berlaku kasar padamu."

Aluna menahan napas. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Dimana Nino menciumnya dengan sedikit kasar sebelum akhirnya memilih pergi begitu saja.

"Apa kau mau memaafkanku?"

Perlahan Aluna membelai pipi Nino dengan telapak tangan kanannya, "Aku memaafkanmu. Apakah Kak Nino sudah shalat Isya?"

Nino mengangguk. Dia menyentuh tangan Aluna yang masih bersarang di pipinya. Dia genggam tangan itu dengan lembut dan tanpa dapat diduga tiba-tiba Nino mengecup tangan Aluna yang ada dalam genggamannya dengan lembut. Hal itu berhasil membuat wajah Aluna bersemu merah.

"Apa kak Nino sudah makan?" Dalam hati Aluna merutuki kebodohan bibirnya.

Kenapa pertanyaan bodoh itu terucap dari bibirnya? Sebuah pertanyaan yang menurut dia pertanyaan paling childish. Pertanyaan itu tercipta pasti gara-gara efek dari kecupan lembut Nino di tangannya.

Nino tersenyum sambil mengangguk.

"Benarkah Kak Nino sudah makan? Makan dimana?" Ya Allah... Pertanyaan bodohnya masih terus berlanjut. Untuk apa juga dia bertanya Nino makan dimana.

"Aku makan di rumah Dimas. Apa kau sudah makan?"

Aluna tidak bisa menahan senyum saat mendengar pertanyaan bodoh itupun diajukan oleh Nino.

Aluna | ENDWhere stories live. Discover now