Hari yang Panjang

Comincia dall'inizio
                                    

Api dimana-mana, tempat ini seperti kebakaran. Sekarang semuanya nampak jelas dalam cahaya kobaran api. Aku bisa melihat lantai penuh abu hitam di tempatku berdiri melalui jemariku yang tembus pandang. Aku menjerit karena kaget, namun suaraku tidak keluar.

Mataku langsung terarah ke makhluk-makhluk mengerikan yang kaki dan tangannya dirantai, jauh di depanku. Kulit mereka meleleh, bahkan ada yang gosong sampai ke tulang.

Rantai mereka ditarik mundur oleh sesosok makhluk hitam bertanduk tiga yang tengah duduk di singgasananya.

Badannya hitam mengilap. Di kepalanya ada api hitam menyala membakar seluruh rambutnya. Kedua matanya putih menyilaukan. Dan di seluruh permukaan baju hitamnya yang koyak, api putih menyala dengan rata.

Aku menelan ludah sambil berharap ia tak melihatku. Tapi terlambat, ia telah memergokiku.

Kupalingkan kepalaku dari tatapan matanya yang menyilaukan. Senyumnya menjadi datar tatkala ia menatapku. Kukira ia tak bisa melihatku. Bukankah aku tembus pandang?

Dia berteriak dengan kata-kata aneh dan membuat kepalaku memutar sendiri menghadapnya. Aku menangis dan memohon agar ia tak membakarku. Tangannya lalu terangkat pelan, api hitam tiba-tiba muncul di telapaknya, jarinya menunjuk diriku. Aku terisak menutup mata dan mulutku rapat, menunggu nasibku selanjutnya.

"PERGI!!" Teriaknya dengan sangat keras, membuat tubuhku terpental sangat kencang secepat halilintar.

Aku terbang dengan kecepatan tinggi menabrak diriku yang tengah tertidur di atas kasur.

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

HHAH.. HHAH..

Aku membuka mata. Keringat bercucuran di dahi serta leherku. Pipiku terasa panas.

Kurebahkan tubuhku menghadap langit-langit kamar yang penuh sawang* dan kukerjapkan mata berkali-kali.

"Sial," gumamku pelan.

Aku sampai mimpi buruk karena melihat wujud asli Lavina kemarin.

Aku turun dari dipan dan berjalan lunglai ke arah pintu. "Air.." kuraih kenop pintu seperti orang mabuk. Mataku terasa sayu.

Aku berhenti sejenak di pangkal tangga karena tubuhku terlalu linglung. "Lavina.. tolong," aku merasa kakiku tak menapak di anak tangga.

"Sayangnya dia pergi," ucap seseorang.

Aku menoleh lambat ke sumber suara. Ternyata seorang golongan mata kuning yang kuduga adalah hantu.

Setelah minum segelas air dingin, aku merebahkan diri di sofa. Kepalaku tiba-tiba pusing.

Hantu itu menunduk di atas kepalaku. Rambut pirangnya yang panjang menjuntai sampai ke hidungku. "Wow, wow, kau demam!" matanya membelalak.

Aku menyingkirkan rambutnya dari hidungku dan tak peduli. "Apa... yang kau lakukan di sini?"

Dia pergi dari hadapanku dan mengutak-atik dapur. Kedengarannya seperti merebus sesuatu. "Hanya penghuni baru yang tersesat," balasnya cepat. "Mulai sekarang aku tinggal di sini."

"Demi sneakers... memangnya ini penginapan," gumamku tak jelas.

"Ya semacam itu, kau punya rumah tua yang luas. Banyak kamar dan nyaman. Sudah lihat lantai tiga?" sahutnya, ternyata ia mendengarku.

"Lantai tiga?" aku mengernyitkan dahi. Pertanyaan itu hampir memecahkan kepalaku kalau saja aku tak ingat rumah ini hanya dua lantai. Aku menggeleng, "Tak ada lantai tiga di sini."

Ia lalu menghampiriku dengan sebaskom air yang banyak uapnya dan sebuah lap kering yang entah diambilnya dari mana. Lap itu direndam dalam baskom lalu ditempel di dahiku.

The Last BlueDove le storie prendono vita. Scoprilo ora