Enam : Tangisan Aluna

Mulai dari awal
                                    

"Aluna!" Nino memanggil Aluna dengan suara tegas "Ayo kita segera turun!"

Aluna menggelengkan kepalanya, dengan suara yang pelan dia meminta Nino untuk membiarkannya tetap berada di puncak Rinjani.

"Aluna!" sekali lagi Nino memanggil Aluna, beharap Aluna akan ikut bersamanya.

"Biarkan dia turun bersamaku." Tawar pria asing tersebut, ia menyodorkan kartu namanya pada Nino "Aku akan menjaganya... kau bisa laporkan aku kepihak berwajib kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada nona ini."

Nino membuang kartu nama tersebut "Aku bilang jangan ikut campur." Dan satu bogem mentahpun Nino daratkan di wajah pria asing tersebut.

Beberapa pendaki yang masih berada di puncak Rinjani langsung memisahkan keduanya, yang hendak kembali saling adu jotos.

"Pilihan ada di nona ini. Jadi biarkan nona ini yang memilih." Ucap sang penengah.

"Tapi dia naik ke puncak bersamaku jadi ia pun harus turun bersamaku!" ucap Nino tegas.

"Aku tidak mau turun bersamamu!"

"Aluna!" bentak Nino, tidak terima akan penolakan yang diberikan oleh Aluna.

"Aku ingin turun bersamanya." Lanjut Aluna seraya menunjuk pria asing tersebut tanpa sedikitpun mempedulikan kemarahan Nino yang terlihat sangat jelas.

"Awas saja kalau terjadi sesuatu padanya. Akan ku bunuh kau!" ucap Nino tepat di depan wajah pria asing tersebut.

Aluna menangis tersedu-sedu saat Nino benar-benar telah pergi meninggalkannya.

Sungguh hatinya terasa sakit saat Nino memanggilnya dengan nama Kakaknya sendiri.

Kenapa semuanya menjadi seperti ini?

Dia menikah dengan Nino berharap kalau rasa sakit yang mendera di hatinya akan berkurang namun yang terjadi malah sebaliknya. Hatinya semakin terluka.

Belum sembuh luka masa lalu yang selalu menghantui hidupnya, kini telah datang luka yang baru untuknya.

"Kelak aku akan sendiri... Ibu dan Ayah telah pergi... Kak Aliandra dan Arkhan pun akan pergi dibawa oleh Alka... Dia yang aku harapkan menjadi sandaran ku pun akan ikut pergi meninggalku karena dia tidak pernah menganggapku penting baginya.... Aku tidak punya siapa-siapa," Aluna mulai meracau.

Pria yang sedari tadi berdiri di samping Aluna terpekur saat mendengar racauan Aluna yang terdengar menyedihkan. Dia kira pertengkaran yang terjadi hanyalah pertengkaran biasa yang sering sekali terjadi oleh sepasang kekasih atau suami istri yang berbeda pendapat saat melakukan pendakian bersama, namun ternayata tebakannya salah. Masalah keduanya lebih rumit.

Cukup lama dia diam. Membiarkan Aluna puas dalam tangisnya. Dia percaya kalau terkadang tangisan mampu menyapu luka walaupun tak menyembuhkan luka itu sendiri.

Tangisan Aluna mulai reda, lantas pria itu berkata lembut pada Aluna, "Di saat semua orang meninggalkanmu, kau harus ingat kalau Tuhan akan selalu ada untukmu. Tuhan tidak akan pernah meninggalkanmu kecuali kau sendiri yang memilih menjauh dari-Nya."

Perlahan Aluna mengangkat wajahnya, menatap lekat wajah pria yang kini duduk di sampingnya.

"Rama." Tanpa dipinta pria asing tersebut mengulurkan tangannya ke arah Aluna seraya menyebutkan namanya.

Aluna | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang