Part 42

763 41 11
                                    

Kerumunan perlahan bubar. Dan, Bintang cepat-cepat kembali ke tempat dimana ia meninggalkan Sinta barusan.

Ya tuhan! Kemana dia?

Bintang berputar-putar sesaat sampai ia menemukan sosoknya yang berjalan dengan langkah cepat. Bintang memanggil namanya, berkali-kali, namun Sinta tak menghiraukannya justru berjalan lebih cepat.

Bintang berhasil menyamai langkahnya, dan langsung berdiri di hadapan Sinta menghadang jalan gadis itu. Sinta menunduk dan berjalan ke sisi lain, Bintang juga menggeser tubuhnya. Sinta menuju arah lainnya, Bintang gemas dan mengahan tangan Sinta.

“Hei, kenapa kau pergi begitu saja?” Tanya Bintang sambil merunduk. “Kau menghindariku ya? Setelah apa yang kita lakukan barusan?”

“Memangnya kita melakukan apa?”

“Em, bukan begitu. Maksudku.. ah pokoknya kenapa kau malah pergi begitu saja? Kau tahu bagaimana cemasnya aku tadi? Tapi kamu—“

Bintang menyadari kalau gadis itu hanya menunduk, dan ia pun tahu kalau Sinta memandangi tangannya yang terus digenggam oleh tangan berdarah Bintang. Bercak darah yang ia dapat ketika memberi pertolongan pertama tadi.

Ia menarik tangannya dari Sinta, “M-maaf.”

Tapi, Sinta malah menarik kembali lengan Bintang. Lebih tepatnya, Sinta membawanya ke sebuah taman, dan pancuran air setinggi perut orang dewasa dan mencuci tangan Bintang disana.

Sinta tidak mengeluarkan suara apapun selain suara napasnya. Dan bintang tak mencoba untuk membuka pembicaraan, Sinta yang terlalu fokus untuk membersihkan lengan Bintang, dan Bintang yang terlalu fokus memandangi wajah Sinta seksama.

Sekarang, terdapat kerikil-kerikil yang menghalangi hatinya, dan semua pertanyaan yang belum ia ketahui jawabannya ada pada Sinta, dan kalung yang ia kenakan sekarang.

“Bagaimana dengan mimpimu?” tanya Sinta tiba-tiba. “Saat itu kau bilang kalau mimpimu sebagai dokter ataupun bidang sastra korea sudah tidak berguna lagi. Apa sekarang kau sudah memiliki mimpi yang baru?”

“Impianku? sebenarnya aku tidak tahu untuk apa mimpi itu. Kalau impianku terwujud, apa aku akan bahagia? Apa hidupku akan berubah?”

“Yah, aku juga tidak tahu soal itu. Tapi, impian selalu mengingatkanku, untuk bertahan hidup lebih lama.” Sinta mendongak menatap langit gulita. “Dan, aku harap kau bisa melakukan sesuatu yang membuat jantungmu berdebar, membuatmu senang, sampai kau setengah mati memperjuangkannya, dan kau menikmatinya.”

Bintang menatap Sinta yang masih mendongak.
“Aku sudah melakukannya.”

“Apa? Kau baru saja memiliki mimpi yang baru atau apa?”

“Sudah kubilang, kau yang membuat jantungku berdebar. Melihatmu membuatku senang dan aku menikmatinya, mencemaskanmu membuatku nyaris gila tapi aku tetap menikmatinya, apa itu artinya kau adalah impianku?”

Bintang tersenyum tipis, menarik tangannya dari genggaman Sinta. “Terimakasih. Aku akan mengantarmu pulang.”

Ponsel Sinta berdering. Ia tersenyum melihat nama yang tertera di layar besar-besar. “Siapa itu sampai kau senyum-senyum seperti itu?”

“Ah ini? Ini Om Bayu, temannya mama.—“

“Jangan di jawab.” Larang Bintang sambil menahan tangan Sinta.

“Kenapa tidak boleh?”

“Kau akan melukai hatiku.”, ujarnya.

“Kau ini kenapa? Jangan aneh-aneh.” Jawab Sinta.

Fate In You (COMPLETED)Where stories live. Discover now