Part 22

835 49 10
                                    

"Kau bercanda?Baru sebentar kita bermain, kenapa sudah lelah?"

Apa kau sungguh tak ingin orang lain mengetahuinya?Bahkan aku juga? Tanya Bisma dalam hati. Apa sedangkal itu hubungan kita sampai kau menyembunyikannya dariku?
Bahunya merosot, menyesal, sorot matanya layu menatap seorang gadis yang tengah berdiri di dekat ring sembari mendribble bola.

Bisma menundukkan wajah dengan tangan terkepal. Di langit, matahari enggan muncul, ia bersembunyi dari kepedihan bumi. Disaat itu, awan gelap yang mengambil alih peran. Bisma berangsur-angsur mengumpulkan kepingan hatinya yang berserakan, menyatukannya kembali sebelum siap menghadapi Sinta dengan wajah bahagia nya.

"Ketika masalah datang, apa kau juga bersembunyi, Wahai Matahari?" bisik Sinta pelan seraya memandang langit mendung.

Sebisa mungkin agar air matanya tak jatuh. Ia akan menangis ketika lelah hati dan jiwanya sudah menumpuk. Untuk saat ini, ia masih mampu bertahan.

Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Bisma janji akan sampai tepat waktu, tapi ini sudah setengah jam berlalu.

Ayah, kupikir aku benar-benar mirip denganmu.. ajari aku bagaimana cara menghadapinya, sepertimu. Dan, Mama.. bagaimana caraku menenangkannya?

Titik-titik air hujan jatuh menghempas bumi, dan seluruh permukaan. Sinta mendongak ke langit, membiarkan tetes kecil tersebut menyentuh kulit wajahnya.

Tap.. Tap..

"Bisma kenapa baru-"

Sinta belum sempat menoleh, ketika sebuah tubuh mencapai dirinya dengan mulus, menempelkan dadanya pada punggung ringkihnya. Merengkuh tubuhnya dengan erat, seolah tak ada hari esok.

Napasnya berderu, terengah. Dan, Sinta tahu betul siapa pemilik tarikan napas berat itu..

"Ssaem.."

Bintang menenggelamkan kepalanya di leher Sinta. Berharap ia dapat temukan sesuatu yang mengobati luka di hatinya.
"Hei, apa sesuatu terjadi? Ada apa?"

Bintang membalikkan badan Sinta. Memeluk wajah manis itu dengan tangan besarnya. Matanya penuh duka, dan kepedihan. "K.kenapa? Kenapa harus kamu?"

Sinta menatap mata indah itu tak mengerti. Tapi, ia ikut merasakan pilunya luka di mata Bintang.

"Apa ini ada hubungannya dengan mantan kekasihmu? Kau butuh obat-"

"Berhenti mengobati lukaku! Kumohon!" Bintang menyatukan kening mereka. Sementara hujan makin deras.

"Semua akan baik-baik saja. Kau hanya perlu bersandar padaku, dan percaya padaku. Maka, aku akan melindungimu dari dunia. Selamanya."

Benteng yang mati-matian di bangun Sinta runtuh dengan ironi. Seluruh kekakuan di hatinya roboh hanya kalimat klasik penenang itu. Ia menangis, tersedu, bahkan nyaris tak bersua, hatinya linu, dadanya seperti menyusut.

Itu kalimat yang ingin kudengar.

Bintang menarik gadis itu padanya, membiarkan tangis itu larut beserta air hujan yang tak jua menyerah.

Bintang bertekad, cukup sudah menyembunyikan rasa khawatirnya secara diam-diam, mulai sekarang ia bersumpah Sinta akan baik-baik saja, dan ia pastikan akan menjaganya, dengan sepenuh hati.

Di sisi lapang, Bisma berdiri dengan bajunya yang basah kuyup. Hujan masih tega menyerangnya, tak pedulikan hatinya yang jauh lebih kedinginan.

Hanya selisih sepersekian detik saja, ia yang seharusnya berada di posisi itu, memeluk Sinta. Ia butuh cara untuk menghibur Sinta, tapi Bintang.. ia melakukan apa yang ada di kepalanya dengan sekali coba. Yang Bisma sesali, ia tidak ada disisi sahabatnya disaat seperti ini.

Fate In You (COMPLETED)Where stories live. Discover now