Part 16

908 63 3
                                    

Shot!

Sinta menggerutu. Ia melempar bola basket menuju ring, lalu meraih bola yang kembali memantul padanya, kemudian melempar lagi, terus menerus.

Kau tak paham juga? Dia suka padamu, Sinta. Kau tak sadar?

Sejak tadi, suara Fiona menyebalkan itu terus menari-nari di kepalanya sampai tak ada ruang tersisa bagi Sinta untuk memikirkan hal lain. Sampai-sampai, otaknya menimang-nimang, dan sesekali membenarkan dugaan tersebut.

Mengkhayal lagi! Sinta melempar bola basket ke ring asal-asalan.

Kenapa ia harus memikirkan hal yang sudah ada jawabannya? Dari yang ia lihat, semua perhatian itu, ya! ia yakin sekali itu hanya rasa simpatinya saja terlebih karena mantan kekasihnya masih bersarang kuat mengakar di benak pria itu.

Ia menganggukkan kepala beberapa kali, meyakinkan diri sendiri mencegah otaknya berpikir lebih jauh.

Kemana perginya bola basket itu?

Sinta menyapukan mata ke seluruh penjuru lapang nan sepi, ia memutar badan dan seketika berhenti, matanya membulat seperti melihat hantu, namun kali ini hantunya tampan.

Pria itu mendekatinya, dengan pandangan mata kosong dan bahu merosot.

"Sinta, Buktikan padaku kalau kau memang manusia ramuan ajaib."

"Hah?" Sinta memandang tak mengerti.

"Berikan aku obat, sekarang."

Sinta melamun. Obat apa? apa maksudnya dia-

Bintang mengikis jarak, kemudian menyandarkan tubuhnya ke gadis mungil yang diam mematung. Ia lingkarkan tangannya dipunggung kecil itu, mempererat rengkuhannya seperti ia bisa menyerap seluruh energi Sinta.

Sinta merasa perutnya di aduk-aduk. Ada apa ini? Jantung.. jangan bergemuruh!

"K-kau bak-baik saja?"

Respon Bintang hanya gerakan kecil kepalanya yang berpindah ke bahu Sinta. Tubuh kurus seperti Sinta kenapa bisa sehangat ini? Rasanya seperti menemukan rumahnya yang telah hancur, dan pelabuhan yang telah ia cari berbulan-bulan di lautan lepas. Sinta mengusap rambut Bintang.

"Lepaskan semuanya. Buat hatimu lapang, karena aku ada disini, semua akan baik-baik saja", bisikan Sinta membuat Bintang makin menempelkan kepalanya.

"Tenang saja. semua akan baik-baik saja", Sinta berupaya keras agar tak nampak sedang gugup, ia mendongak mencari oksigen.

"Lihatlah, bintangnya banyak sekali malam ini. mau ku ambilkan satu untukmu? Wah, indah sekali."

Bintang melepas pelukan tiba-tiba dan mencengkeram bahu Sinta keras.

"Berhenti mengucapkan itu! Jangan sebut nama Indah lagi!"

Sinta mendongak tak paham. Bintang menggertakkan gigi. "Tatapan itu.. aku membencinya."

Bintang berbalik meninggalkan lapang basket begitu saja, meninggalkan Sinta berserta jutaan pertanyaan dikepalanya.

***

Brak! Sinta menutup gerbang rumahnya kasar dan masuk rumah dengan gerutuan tak habis-habis. Di ruang TV, Mary asik menonton sinetron yang akhir-akhir ini jadi favorite Ibu-Ibu.

Menyadari anak perempuannya pulang, Mary berseru. "Sinta, Mama sudah siapkan makan malam di meja ya. Oh ya, sekalian kirim untuk Bintang juga."

"Gak lapar!"

Sinta membanting pintu cukup keras dan dibawah, Mary mulai mengomel.

Sinta menekan kepala ke daun pintu. Kenapa ia begitu marah? Dimana letak salahku? Mata itu.. tatapannya.. dada Sinta terasa sesak, bukan Bintang yang ia kenal. Dan, Indah..

Fate In You (COMPLETED)Where stories live. Discover now