Chapter-01: Everything Comes Back to You

Start from the beginning
                                    

"Gimana?"

"Nanti kalau udah tujuh belas tahun."

"Yes!" dia kegirangan sampai kuncir kudanya berayun-ayun. Maklum, selebrasi anak TK kalau dapat kabar baik, loncat-loncat.

"Makanya jangan minta jadi duyung sekarang-sekarang."

"Kenapa?"

"Kan kamu masih kecil, Adek. Nanti yang keluar bukan ekor ikan, tapi kecebong."

"Oh iya, ya. Bener. Pintar kamu Mas."

"Hahaha, iya lah."

Udah, gitu aja gue jawabnya. Gue nggak lagi niat bohong ke dia, tapi supaya dia nggak minta yang aneh-aneh kan? Ya lagian nanya kok pengin jadi duyung. Dan kenapa gue bilangnya tujuh belas tahun, karena sebelum sampai usia itu pasti dia bakal paham kalau hal semacam itu cuma fantasi semata dan nggak mungkin ada manusia jadi duyung. Adik gue itu 'pengabdi' setia Princess Disney, dan menurut gue itu nggak baik. Tapi nggak ada larangan sama sekali dari Ayah atau Bunda.

"Saya sarapan roti aja," kata gue setelah duduk.

Ayah langsung menatap ke gue. Tanpa harus melihatnya pun gue tahu kalau dia pasti lagi kesal banget karena dia sudah mengambilkan nasi buat gue, sementara gue malah minta yang lain.

"Ya, roti. Itu lebih bagus," katanya sambil menggeleng.

"Kenapa?"

"Nggak, ayah cuma bilang roti bagus buat sarapan."

"Ya memang."

Lalu gue mengambil dua lapis roti tawar yang rasa pandan. Sebelum gue meminta, ayah sudah mendekatkan selai rasa nanas.

"Saya yang rasa moka," kata gue. Kali ini gue berani menatapnya dengan tampang yang dibuat polos. Gue bisa melihat ada kedutan di pipi kanannya.

Dia menarik kembali selai nanas itu, dan menggantinya dengan yang rasa moka. Tuan, masih untung yang diminta itu bukan rasa durian. Nggak ada di meja.

"Rasa moka," katanya sambil meletakkan.

"Thanks."

Gue langsung mengolesi roti itu dengan selai. Saat melakukan gigitan pertama, baru sadar kalau Tuan Disiplin itu masih menatap gue.

"Kenapa?" gue bertanya dengan mulut yang penuh oleh roti.

"Udah? Nggak ada yang perlu diganti lagi? Barangkali pisau olesnya pengin diganti yang emas, atau cat dinding ruang makan ini pengin kamu ganti jadi warna ... moka mungkin?" nada bicaranya agak gereget.

Gue menyelesaikan satu gigitan tadi, lalu, "Oh, bisa?"

Kami saling tatap beberapa saat. Seperti ada yang menegang di rahangnya. Lalu dia mengakhiri kompetisi saling tatap ini dengan menghela napas panjang yang seperti telah dia tahan. Meneguk kopi lalu pergi ke dapur.

Tapi, coba tebak. Dia bukan lagi menyerah sama gue. Melainkan, dia datang kembali sambil bawa mangkuk yang isinya ... air kobokan.

Sekarang gue yang kena.

"Kamu kalah sama Nashwa. Dia nggak pernah lupa cuci tangan sebelum makan."

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Where stories live. Discover now