Chapter-01: Everything Comes Back to You

Start from the beginning
                                    

Eitt, ini bukan cerita yang itu. Sori. Gue nggak punya jenggot. Emm ... Belum. Gue baru masuk SMA.

***

Kadang gue nggak ngerti ya sama jalan pikiran orang tua, terutama Ayah. Kalau Bunda okelah, dia favorit gue. Tapi laki-laki yang satu ini, udah pulang ke rumahnya sebulan sekali dan itu kadang cuma tiga hari di rumah. Jarang ada kalau Nashwa lagi ulang tahun. Kasihan kan adik gue kalau ngadain acara perayaan, Ayah malah nggak ada. Dia katanya sibuk manajerin proyek lah, atau apa gitu gue nggak ngerti apa yang dia kerjakan kalau lagi di Jakarta. Makanya gue kesel misal dia mulai belagak baik, telepon gue misalnya atau nge-chat gue. Ya gue cuma pengin kalau dia punya perlu atau sesuatu yang penting, kenapa sih nggak pulang aja? ngobrol hayu sama gue, bahas apa gitu biar asik, kayak dulu.

Dan sekarang, gue seakan diculik sama dia ke Jakarta. Dipisahin dari Bunda sama Nashwa hanya buat lanjut SMA di Jakarta, sekolah bagus lagi. Katanya biar gue diawasin sama dia, cuma gara-gara gue yang kayak tadi, jarang merespons komunikasi dari dia. Mungkin dia pikir gue nakal kali ya, atau dia curiga kalau gue diam-diam ngumpetin drugs. Itu nggak akan terjadi.

Tapi serius, gue dua minggu di Jakarta masih belum setuju sama keputusannya untuk membawa gue sekolah di kota. Karena itu, gue memang pengin bikin dia bisa sedikit mengerti apa mau gue.

Akhirnya, setelah gue seminggu habis-habisan MOPD di sekolah. Nggak cuma orientasi sekolahnya aja, tapi sekalian sama jajaran ekstrakurikuler yang bikin blenger kepala. Hari ini jadi pertama kalinya kegiatan belajar dimulai.

Di depan cermin, iya, gue lagi dandan. Tapi jangan bayangin gue lagi pegang busa sambil ngolesin bedak. So not me. Ya sewajarnya cowok aja. Pakai minyak rambut sama nyemprotin Axe.

Lalu tiba-tiba pintu kamar gue ada yang membuka. Dan itulah dia, Ayah gue, Mr. Zaryn Geraldi, si Tuan Disiplin.

Satu kritik yang pengin gue lontarkan ke dia, Tuan, lain kali bisa nggak ketuk pintu sebelum masuk? Nggak sopan meskipun saya anak kamu.

"Udah siap?" katanya yang sambil melongokkan kepala dari balik pintu.

"Siap apa?" gue malas banget jawabnya.

"Sarapan lalu berangkat ke sekolah. Hari pertama biar Ayah yang antar," dia berkata dengan nada penuh keyakinan bahwa gue bakal mau gitu aja.

Gue nggak langsung jawab. Sekali lagi memandang figur gue sendiri di depan cermin, meyakinkan diri kalau gue itu udah jadi anak SMA, bukan lagi anak SD yang perlu diantar ke sekolah. Seenggaknya gue sudah tahu misal naik Bus harus turun di mana.

Setelah rapi, gue menuruni tangga buat sarapan di ruang makan. Orang itu, Ayah gue, sudah berpakaian rapi, berdasi, lengan kemejanya disingsingkan dan sedang mengambil nasi ke piringnya. Oh, bukan, itu piring gue karena dia meletakkannya di sisi lain meja. Well, usaha yang bagus supaya gue mau luluh sama dia. Mungkin dia sadar, soalnya selama gue SMP dia hampir nggak ada waktu buat berlama-lama di rumah. Dia di Jakarta sedangkan Bunda yang jadi pahlawan kampung dengan profesinya sebagai dokter, harus bijak membagi waktu antara pasien dan kedua anaknya. Tapi, yang jelas Bunda selalu ada dalam jangkauan pandangan gue. Dan nggak masalah kalau gue yang harus ngawasin Nashwa nonton Barbie kalau Bunda lagi banyak pasien.

Ya walaupun aneh sih kalau dia nanya, "Mas, aku bisa jadi duyung nggak, kayak Barbie?"

"Bisa," jawab gue yang lagi berbaring malas di sofa. Posisinya nggak jauh dari noda bekas tumpahan susu di karpet. Jangan tanya pelakunya siapa. Karena nggak mungkin itu gue.

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Where stories live. Discover now