First ... (Julieta PoV)

136 14 2
                                    

Sepertinya Tuhan telah mengatur dan menentukan hidupku untuk sepahit ini.

Di dunia ini ada namanya hukum sebab-akibat, bila yang kamu kerjakan ada niat buruk maka hasilnya akan berakibat buruk.

Contohnya aku. Aku sudah menerima akibatnya sekarang.

Aku tidak tulus mendekati Romero karena hanya berniat dekat untuk menjalankan tantangan. Semua berjalan lancar hingga akhirnya berpeluang besar tantangan akan terlaksana. Namun, siapa yang tahu kalau buah akhir tak sebanding dengan usaha.

Di tengah perjalanan, muncullah sebuah perasaan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dan aku baru menyadari kalau itu adalah hukuman Tuhan kepadaku.

Di akhir perjalanan, tantangan memang telah terpenuhi dan urusan TOD itu selesai, namun akibat yang aku terima ialah kehilangan orang yang telah menimbulkan perasaan sayang di hati ini.

Jadi, aku menyimpulkan, bahwa aku harus menerima ini.

Masalahnya kelihatan sepele memang, namun sakit yang diterima itu jauh lebih besar jika telah melibatkan perasaan di dalamnya.

Sudahlah, yang lalu biarkan jadi masa lalu. Tak mau 'kan terjebak dan terus menyesalinya? Akan percuma kalau hanya disesali, seharusnya kalau masih bisa diatasi, ya, atasi.

Tapi ... sepertinya akan sulit menurutku bila mengatasi masalah ini dengan seorang pemilik sifat dingin. Bagiku, seseorang yang memiliki sifat dingin sangatlah sensitif dan sulit kembali menaruh kepercayaan. Dengan kata lain, dia memang telah memaafkanmu namun tidak dengan kepercayaannya.

Ya sudahlah, mungkin ini akan menjadi awal yang baru atau bahkan mengulang intro kedua belah pihak yaitu saling tidak mengenal.

Ya, aku akan bangkit. Demi diriku sendiri. Demi menciptakan segelintir kebahagian yang biasanya kuhasilkan sendiri.

Lagipula akan sia-sia saja jika orang lain berusaha membuatku bahagia tetapi aku belum membahagiakan diri sendiri terlebih dulu.

Dan juga ... ini bukan akhir dari segalanya kok. Jalan hidupku masih panjang. Masalah-masalah lain pasti akan datang dan mungkin lebih buruk dari hari ini, dan aku harus siap menerimanya.

Entah benar atau tidak, rasanya aku baru bisa bangkit jika menasehati diri sendiri ketimbang orang lain. Simpelnya, aku jatuh, ya bangun sendiri!

"Oke, Julieta, cukup tangis lo untuk hari ini," kataku untuk diri sendiri sembari mengusap wajahku yang masih belum kering. Ketika aku sampai tadi, air mata pun tak keluar lagi. Mungkin semuanya sudah terlampiaskan ketika di makam hingga pulang ke rumah.

Aku bangun dan duduk. Menatap sekeliling kamar yang temaram lalu menangkap objek anak-anak tangga.

Mau ke loteng aja lah, masih pengen sendirian.

Sesuai yang kupikirkan, aku segera bergerak bangun dan berjalan ke arah tangga dan menaikinya satu per satu hingga memasuki loteng yang gelap.

Aku mencari tombol saklar, setelah menekannya ruangan pun berubah terang. Kulanjutnya menuju jendela yang ada kasur kecil di bawahnya dan duduk di sana.

Tirai jendela kusingkap. Lapangan basket yang tak terlalu luas menyambut mataku pertama kali. Aku menaruh dagu ke tanganku yang terlipat dan kepalaku kembali mengarungi alam lamunan.

Suara langkah kaki yang sedang menaiki tangga di belakangku bisa kudengar dan tak kuhiraukan. Mungkin itu Paradina, yang datang membawakanku makanan, mungkin. Lagipula siapa lagi penghuni lain di rumah ini selain Paradina.

Suara langkah kaki itu telah mencapai lantai loteng. Suara langkah itu begitu pelan dan malah membuatku takut kalau jangan-jangan penimbul suara itu bukan manusia.

Romeo-nya JulietWhere stories live. Discover now