Everything change - 1 (Julieta PoV)

130 20 3
                                    

"Ro," panggilku ke Romero yang tengah mengendarakan mobil untuk mengantarku sekolah.

"Hem," dehemnya menyahut, namun dehemennya agak bernada tak seperti deheman kemarin-kemarin yang terdengar datar.

"Aku belom dapet rencana buat ngerjain Dirga nih," kataku pelan.

"Yaudah gapapa, 'kan masih ada banyak waktu," katanya santai sambil fokus menyetir, maksudku tak sedetik pun dia enggan menoleh atau sekedar melirik berdurasi 3 detik ke arahku.

"Nggak marah 'kan?" tanyaku memastikan Romero tidak marah karena sikapnya tak seramah bicaranya.

"Nggak kok."

"Ohhh."

Entah benar atau tidak, sekarang suasananya terasa sangat canggung. Memang sih, Romero agak hangat dan tak sedingin juga tak seketus dulu merupakan perubahan yang baik, tapi rasanya terkesan aneh. Terlebih lagi diriku yang biasanya cerewet minta ampun, sekarang hanya bisa berbicara seperlunya dan tak ada candaan lalu dibalas dengan ketusan dari Romero seperti biasa.

Rasanya sangat berbeda. Seakan bila satu orang berubah maka orang yang berkaitan juga ikut berubah.

"Rasanya jadi canggung gitu, ya?" tanyaku entah pada siapa dengan pandangan lurus.

Romero baru mau menoleh sebentar setelah aku berkata tadi. "Iya, sama. Rasanya aneh gitu. Kayak ada yang beda."

"Emang Romeo beneran udah berubah?" tanyaku menatapnya.

"Seperti yang lo dengarkan sekarang," jawabnya. "Dari suara memang udah nggak ketus, untuk hari ini. Mungkin besok, sikap gue juga bakal ikut berubah. Terus lanjut ke perilaku." Romero menghela napas dalam. "Apa ... aneh, ya, kalo gue berubah?"

"Sedikit, tapi rasanya itu terlalu mendadak. Padahal nggak ada suatu insiden atau hal 'wah' yang bikin Romero berubah Sembilan puluh derajat. Biasanya aku banyak omong sama suka ketawa-tawa terus dibales ketusan dari Romeo, tapi sekarang aku malah jadi pendiem."

"Perubahan nggak terjadi karena setelah adanya insiden, tapi adanya kesadaran dari diri sendiri. Kalo lo ngerasa lo juga ikut berubah, itu artinya lo belom beradaptasi dan belom nerima perubahan dari diri gue."

"Kayaknya sih juga gitu. Ada hal lain juga yang bikin aku jadi pendiem gini."

"Apa?"

Aku menghela napas pelan. "Dari kemarin badan aku nggak enak. Jadi nggak ada gairah buat ketawa-tawa sama ngoceh-ngoceh."

"Lo sakit?" tanyanya disertai alis yang mengkerut.

"Nggak enak badan doang kayaknya," jawabku lemas. Benar, setelah makan malam semalam tubuh ini rasanya tak enak, lemas, dan selalu kepingin untuk tidur seharian.

Romero menepikan mobil di tempat biasanya, di pinggir jalan dekat yang jaraknya 2 meter dari gerbang sekolah.

Kemudian dia memandangku tak berekspresi. Aku hanya bisa memandangnya dalam diam juga. Lalu tanpa kusangka tangannya dengan gesit terulur dan menyeluruhkan telapak tangannya ke keningku. "Nggak panas tuh. Yaudah, kalo nanti nggak enak badannya makin parah lo izin pulang aja, nanti gue jemput."

Dengan sedikit paksaan, kutarik kedua ujung bibirku untuk tersenyum. Karena rasanya sulit tersenyum di saat sakit seperti ini. "Oke."

***

Uh, kepalaku sakit.

Saking tak tahannya aku berbaring tengkurap di bangku kayu panjang. Aku dan teman se-geng berkumpul di Gazebo samping sekolah. Di sini sangat sepi dan suasananya tenang. Beruntung sekali diriku yang sedang butuh tempat tenang untuk sekedar meredakan sakit kepala yang menyiksa, secara kebetulan Jessica meminta yang lainnya untuk makan dan beristirahat di sini.

Romeo-nya JulietWhere stories live. Discover now