Scene 4

2.1K 172 26
                                    

/Janji Temu yang Gagal dan Dialog Masa Lalu/

"Rei!" Riska melepas sepatu haknya ketika ingin menaiki tangga. Di depannya, Reina berlari berusaha menghindar. Ia tahu, ini kesalahannya lantaran melupakan pertemuannya dengan Reina. Setidaknya, Reina harus mendengar alasannya terlebih dulu.

"Reina, dengerin Mama dulu!"

Tepat di depan pintu kamar, Reina berhenti, kemudian berbalik dengan mata berkaca. Wajahnya pucat, lantaran menunggu lama di luar saat hujan. "Rei nungguin Mama berjam-jam, tapi Mama gak dateng. Kalo Rei diculik orang gimana?!"

Riska menjatuhkan tubuhnya dengan bersimpuh pada lutut. Mengusap sepanjang lengan Reina dengan lembut--memberi ketenangan. "Maaf, tadi Mama ada jadwal operasi."

"Rei tau, kalo Mama lupa. Mama sibuk, Mama gak bisa bagi waktu buat Rei. Rei iri, ngeliat temen-temen Rei sering ngabisin waktu sama Mamanya. Disiapin bekal sama Mama, diantar-jemput sama Papa, jalan-jalan bareng, foto bareng. Rei iri!"

Perkataan Reina, cukup membuat Riska bungkam. Riska akui, ia tidak pernah berada di posisi Reina yang hidup mandiri dengan pengawasan orangtua yang minim. Ia tumbuh, dengan perlakuan orangtua yang baik. Bertengkar dengan Dika dan Almarhum Helmi layaknya saudara pada umumnya. Bisa dibilang, masa kecilnya bahagia.

Reina lahir, saat dirinya telah selesai menjalani program S1, dan tengah mengambil gelar dokter--koass--di luar daerah. Mau tidak mau, Reina harus dititipkan ke Eva--Mama Arvin yang tinggal di samping rumah selama dua tahun. Terkadang beberapa bulan sekali Riska pulang, sekedar untuk melihat keadaaan Reina dan belajar cara mengasuh anak.

Jika diingat, Reina sering ditinggal dengan jangka waktu yang lama karena Riska harus mengejar gelar spesialis selama lebih dari 8 tahun. Wajar, kalau Reina selalu meminta kasih sayang dan waktu lebih untuk bersama.

Setelah itu, Reina langsung masuk ke dalam kamar, membanting pintu dan menguncinya dari dalam.

Telapak tangan Riska mengusap wajahnya dengan gusar. Ini bukan pertama kalinya ia bertengkar dengan Reina karena janji bertemu yang seringkali batal, namun saat ini, rasanya seperti perang besar. Reina tidak pernah membanting pintu tepat di depannya.

"Kak, gue mau ngomong sama lu."

Riska menghela napas. Sejak kapan Dika ada di rumahnya? Ia pastikan bahwa Dika mendengar semuanya. Lihat saja nanti apa yang akan Dika katakan kepadanya.

Berjalan mengikuti Dika, Riska melepas jas yang sejak tadi dipakai dan meletakkannya di meja makan setelah sampai di dapur. Sementara Dika, tidak langsung memulai percakapan dan memilih membuka kulkas yang penuh dengan minuman kalenh bersoda ketimbang bahan masakan mentah.

"Beli lagi?" tanya Dika, mengambil kantong pelastik besar dan memasukkan kaleng-kaleng soda ke dalamnya. "Gue buang lagi," lanjutnya.

"Sebenernya lo mau ngomong apa sih, Dik? Gue udah cape, mau istirahat."

Dika mendudukkan dirinya di depan Riska setelah mengikat kantong plastik. Mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya sambil menatap Riska yang juga tengah menatapnya. "Kenapa gak terima aja lamaran dari Aram, biar lo bisa stay di rumah dan Aram yang kerja?"

"Jadi lo nyuruh gue buat ngelepas pekerjaan? Gue masih bisa ngurus Reina selagi kerja."

"Berapa kali sih, lo ketemu Reina dalam seminggu? Dalam sebulan, lo ketemu sama Reina masih bisa diitung pake jari. Reina itu keponakan gue, keluarga gue juga. Jangan sampe dia salah bergaul, cuma gara-gara kurang perhatian dan pengawasan dari lo. Dia itu perempuan, gak baik lo tinggal lama-lama."

[2] Ending Scene [Completed]Where stories live. Discover now