Scene 7

2K 156 13
                                    

/Ingat Dirinya, Bersamanya Dulu; I Was Wrong/

Laki-laki itu mempercepat langkahnya dan berhenti tepat di depan wanita yang berdiri memperhatikannya. "Mba Yana liat Riska, gak?" tanya Aram.

Baru saja Yana ingin menjawab, Riska telah ke luar dari ruang rawat yang berada di sampingnya. "Nih, orangnya," katanya.

Riska menoleh. Tangannya menggenggam sebuah bak instrumen kecil dengan jas dokter yang melekat rapih di tubuhnya. Ia sempat melihat Aram sebentar, sebelum melengos, seakan tidak peduli dengan senyum tipis yang Aram sunggingkan.

"Duluan ya, Mba."

Yana tidak sempat menjawab, lantaran Aram lebih dulu berlari menyusul Riska. Kepalanya geleng-geleng melihat kelakuan Aram juga Riska. Kejar-kejaran begitu, memangnya enak?

Sementara di sisi lain, Riska tengah memperlebar langkahnya, berusaha menghindar dari Aram--rutinitasnya setiap hari---. Apalagi, hari ini Aram telah resmi dipindahkan ke rumah sakit cabang tempat Riska bekerja, ditambah satu ruang kerja, maka tambah jadilah hari-hari ketenangannya semakin langka.

Langkah Riska tak sengaja terhenti. Disaat Aram menyebut namanya dari belakang, lalu berjalan tak lebih dari dua meter di belakangnya, Riska berbalik. Kotak penyimpanan yang sejak tadi ia bawa, tiba-tiba terjatuh, menciptakan bunyi bising di koridor. Bahkan beberapa orang yang lalu lalang, sempat menaruh perhatian sebelum melanjutkan kegiatan mereka.

Buru-buru Aram merendah dan memungut suntikan, obat-obat, plester, dan sebagainya untuk dimasukkan kembali ke dalam bak instrumen. Kepalanya mendongak, melihat Riska yang terdiam dengan pandangan lurus tanpa melihatnya, membuat Aram segera menyelesaikan pekerjaannya dan berdiri. "Kenapa?"

Mendengar suara Aram, Riska mengalihkan pandangannya dengan tangan mengepal.

"Kamu kenapa?" Aram bersuara lagi. Namun Riska, masih diam, sebelum melangkah melewati Aram dengan cepat.

Sebelum Riska benar-benar pergi, Aram kembali menyusul, menghadang jalan Riska seraya menahan tangannya. Bersamaan dengan itu, ia melihat cairan bening yang meluncur bebas dari salah satu sudut mata Riska. Dan ini, kali pertama dirinya melihat Riska menangis. "Kamu nangis kenapa? Saya nyakitin kamu?" tanya Aram panik.

Kepala Riska tertunduk, lalu mengusap air matanya dengan tangannya yang bebas. Ditanya seperti itu, malah membuat matanya semakin panas. Jujur saja, Riska ingin berlari saat ini juga, menyembunyikan wajahnya, kemudian berdiam diri dengan penerangan redup. Tapi rasanya, kakinya menjadi sulit digerakkan. Bergetar sekaligus lemas, membuat Riska hanya bisa diam sambil ditatap Aram.

"Saya minta maaf kalo saya nyakitin kamu."

Bahkan bibirnya tidak sanggup terbuka untuk sekedar berbicara "tidak".

"Riska!"

Tangan Riska menyentak, menarik tubuh Aram mendekatinya ketika seseorang memanggilnya. Hanya berjarak sepuluh puluh centi, sebelum mereka dikatakan berpelukan. Kemudian Riska berbisik, "Tolong gue." Lantas menunduk, menempelkan dahinya pada dada bidang Aram.

Saat itu juga, jantung Aram menggebu-gebu. Aliran darah mulai menderas. Satu persatu, suluruhnya--orang-orang--hilang dalam pandangan. Rasanya, dunia serasa milik berdua. Tak ada siapapun selain dirinya juga Riska yang tengah berdekatan, mengikis jarak. Yang Aram tahu, ini membahagiakan, hingga rasanya ingin terbang.

[2] Ending Scene [Completed]Where stories live. Discover now