Epilog

2.6K 164 38
                                    

[Yiruma - Kiss The Rain]

Dalam hitungan jam, maka sorak kembang api yang menghiasi langit akan dimulai. Tahun akan berganti, dan semuanya berubah menjadi kenangan. Kemajuan, kemunduran, atau stuck di tempat yang sama. Berharap peruntungan datang membawa kebahagiaan di tahun depan.

Reina bilang, setelah pergantian tahun nanti, Reina ingin mempunyai sebuah foto keluarga beserta album. Bersama Rafael, Dika, Harris, Marissa, dan Riska. Lalu akan ia pamerkan ke teman-temannya, bahwa dirinya juga mempunyai keluarga yang lengkap: Mempunyai seorang Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, dan Paman. Jika perlu, Arvin harus ikut berfoto sebagai sahabat sekaligus Adik tirinya.

Riska menanggapi dengan sebuah anggukan dan senyum tipis. Tidak berani berjanji, bahwa tahun depan ia dapat mengikuti sesi foto bersama seperti yang Reina harapkan. Sebab, sakit yang sekarang tengah dirasakan, amat menyakitkan hingga Riska tidak kuasa menahan. Berkali-kali ia ingin tidak sadarkan diri dan pura-pura tidur di kamar, namun sakit di perut serta mual yang bergejolak enggan pergi.

Waktu itu, sore sebelum dirinya meminta Rafael menemaninya di bioskop, Riska jatuh pingsan di rumah sakit. Aram yang menemukannya. Mba Ratna bilang, sel kanker telah menyebar dan telah memasuki stadium empat, menyumbat hampir seluruh saluran empedunya sehingga jalan operasi tidak memungkinkan. Ada alternatif untuk menghambat penyebaran kanker lebih luas lagi dengan radioterapi, tapi Riska tahu, itu hanya akan memperpanjang umurnya sekaligus gejala dari kanker, bukan mengobati.

Aram marah saat itu, mengatakan, "Gimana bisa penderita kanker stadium empat, ngejalanin operasi untuk pasien kanker!". Riska mengerti, Aram marah lantaran dirinya menyembunyikan. Riska juga tidak ingin sakit seperti ini dan ingin segera sembuh. Namun keadaannya waktu itu berbeda, saat dirinya diagnosa kanker saluran empedu stadium tiga, kecil harapannya untuk sembuh. Bagaimana bisa dirinya menjalankan kemoterapi sementara ada Reina yang harus ia pikirkan?

Maka dari itu, Riska datang kepada Rafael, dalam keadaan sekarat. Perjanjian itu ia buat, agar Reina tidak sendiri saat dirinya menyerah dengan penyakit ini. Tidak, ia memang sudah menyerah sejak awal.

Ada banyak orang yang ia temui dengan segala macam kanker. Mungkin, mukjizat yang dapat menyembuhkan mereka setelah melewati stadium dua. Namun mereka yang datang ke rumah sakit dengan sel kanker yang telah menyebar seperti dirinya, yang tahu bahwa kemungkinan sembuh kurang dari 50%, hanya punya satu tujuan: memperpanjang umur mereka demi keluarga. Karena mereka tahu, tidak ada harapan selain pertolongan Tuhan.

Sekiranya, itulah pandangan Riska. Jika bukan 100%, maka Riska akan menganggap itu tidak mungkin. 100% atau 0%.

"Mama?"

Riska menyibakkan selimutnya setelah mengelap keringat yang membanjiri tubuhnya. Membasahi bibirnya yang pucat lalu melihat Reina yang baru saja membuka pintu kamarnya.

"Ada Om Dika, mau ngajakin Mama ama Rei jalan."

Riska menggeleng. "Rei aja ya, yang ikut. Mama harus meriksa data pasien buat operasi besok."

"Ma ...."

"Maaf, ya, Rei."

Reina mengangguk lesu, lalu menutup pintu kamar Riska dan menghilang di baliknya. Setelah itu, Riska berjalan menuju meja rias, membuka salah satu laci dan mengambil obat pereda sakit. Meminum obat tersebut lebih dari dosis biasanya. Namun rasa sakitnya tidak berkurang, malah semakin menjadi.

[2] Ending Scene [Completed]Where stories live. Discover now