Scene 12

1.5K 144 10
                                    

/Kamu yang Tidak Pernah Menyerah/

Riska segera mengambil tas sekaligus merapihkan benda-benda yang berserak di meja kerjanya. Berjalan melewati Aram yang tengah duduk di meja kerjanya dengan cepat, sebelum Aram menyadari kondisinya lalu menyusulnya untuk menanyainya macam-macam.

Yana yang juga berada di ruangan, sontak melempar pulpen kepada Aram yang sibuk mengobati luka lebam di wajahnya akibat pukulan Rafael. Dagunya menunjuk pintu yang baru saja ditutup Riska. "Riska," katanya.

"Riska kenapa?"

"Matanya bengkak. Kayaknya abis nangis."

Tidak perlu jeda atau berpikir lama, Aram langsung beranjak dan keluar menyusul Riska. Memperlebar langkahnya ketika melihat sosok Riska yang tengah berlari kecil di sepanjang lorong menuju lift, lalu menahannya ketika berada dekat di belakang.

Aram terdiam setelah membalikkan tubuh Riska. Benar kata Yana, mata yang tajam itu, sembab dan merah sehabis menangis. "Kamu ... gak papa?"

"Lepas, Ram." Riska berusaha menarik tangannya dari cengkraman Aram. Namun percuma, Aram justru semakin mempererat, tidak peduli itu akan terasa sakit, asalkan Riska mau menjawabnya.

"Ram ...," kata Riska lagi, masih terus mencoba melepaskan tangan Aram.

Tapi, yang ia dapat hanya sesak yang kembali melanda. Pertanyaan Aram, hanya mengingatkannya dengan hasil diagnosa yang tadi disampaikan Ratna. Hasil foto CT-scan juga USG beserta cek darah yang menyatakan saluran empedunya bermasalah. Rekomendasi pengangkatan kandung empedu dengan segera, atau kemoterapi. Ratna bilang, tersisa tiga bulan sebelum tumornya menjadi ganas dan menutup kemungkinan untuk operasi. Namun, bukan itu yang menjadi beban pikiran, melainkan Reina yang akan ditinggal saat dirinya menjalankan pengobatan, atau risiko yang besar, saat, ataupun setelah menjalankannya nanti.

"Ris?"

Pada akhirnya, ia hanya bisa mengalah dan membiarkan Aram memegang tangannya. Menundukkan kepala, menutupi kesedihan. Napasnya pendek memburu. Entah apa yang harus ia lakukan. Ingin berlari seperti yang dilakukan sebelumnya, lamun tidak bisa. Andaikan Dika di sini, ia akan menjatuhkan tubuhnya ke dalam dekapan Dika, meminta Dika agar menbawanya pergi tanpa banyak bertanya.

Merasa tidak memungkinkan untuk menanyai Riska lebih jauh, Aram melepaskan cengkramannya, memilih memperhatikan Riska yang berdiri dengan menundukkan wajah menahan sesak. "Kalo kamu mau pulang cepet, saya yang bakal gantiin kamu jaga piket malam ini."

Riska mengangkat kepalanya, menoleh sekilas, sebelum berbalik hendak melanjutkan langkahnya yang berat. Namun, sosok Rafael telah berdiri di belakangnya sejak tadi. Memperhatikan dirinya dalam diam, lalu menggeser posisinya, memberi jalan kepada Riska. "Hati-hati," katanya.

Tidak ingin peduli dengan dua laki-laki itu. Riska memantapkan langkahnya, berjalan masuk kabin lift, dan menahan tubuhnya yang ingin terjatuh pada pegangan dalam kabin. Berusaha tenang, saat beberapa orang masuk dari setiap lantai.

Lalu semuanya berjalan dengan cepat, melangkah menuju parkiran, masuk ke dalam mobil, menyalakan hingga mengendarai mobil, dan sampai di rumah.

*****

Tangan Riska meraih secarik kertas yang tertinggal di meja makan, di samping sepiring kiwi, di dekat Reina yang jatuh terlelap di atas meja.

Kalo Mama udah pulang, terus Rei tidur, nanti dimakan ya buah kiwinya. Rei yang bikin, Spesial buat Mama :)

Riska melirik plester cokelat yang membungkus telunjuk Reina. Melihat sekeliling dapur, dan mendapati tumpukan kulit kiwi beserta talenan dan pisau di dekat wastafel. Diraihnya tubuh Reina ke dalam pelukan, menggendongnya, lantas membawanya tidur di sofa panjang.

[2] Ending Scene [Completed]Where stories live. Discover now