Scene 14

1.6K 136 15
                                    

/Satu Syarat Untuk Kamu/

Sejak sejam lalu, tidak henti-hentinya Rafael menggerakan kaki dengan gelisah. Memejamkan mata, seraya mengingat-ingat lafal qobul yang akan diucapkannya nanti. Di hadapannya, Harris--Papa Riska--tidak kalah gelisahnya dengan Rafael.

"Gak usah gugup gitu."

Rafael menoleh ke samping, melihat ketenangan Riska yang tengah memandang lurus. Biar bagaimanapun, ini adalah hari penentuan di masa depan. Dirinya akan melepas status lajang menjadi seorang suami sekaligus kepala keluarga untuk Riska dan Reina. Wajar saja ada sedikit perasaan ragu ketika waktu berjalan mendekati akad nikah yang akan dilangsungkan. Rafael benar-benar gugup.

"Silakan dimulai," kata penghulu.

Rafael kembali melihat ke depan. Tangannya terulur menjabat tangan Harris yang telah siap melaksanakan ijab. Dengan gemetar Rafael meremas telapak tangan mertuanya, mengambil napas dalam, kemudian mengangguk siap.

Hanya ada keluarga inti dari Rafael juga Riska yang menjadi saksi. Ditambah Reina yang sejak tadi cemberut, serta keluarta inti Arvin.

Harris mengambil napas ketika penghulu sekali lagi memberitahu untuk segera melaksanakan, memantapkan hati dan ikhlas. Kemudian mengucapkan ijab, setelah membaca doa dan istighfar.

"Saya nikahkan engkau, Rafael Devano Adinata bin Ernest Devano Adinata dengan putri saya, Eriska Ferlanda Winata binti Harris Winata, dengan mas kawin perhiasan sebesar lima puluh gram dibayar tunai."

"Saya terima nikahnya Eriska Ferlanda Winata binti Harris Winata dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Setelah itu, ucapan "sah" dari banyak saksi serta hamdalah menjadi penutup prosesi akad. Hanya kurang dari sepuluh menit, dan semuanya telah berubah setelah hari ini selesai.

******

Riska menghentikan langkahnya tepat di belakang tubuh tegap yang tengah berdiri memperhatikan rumahnya sebelum pijakan tangga. "Lo ngapain?" tanya Riska.

Aram berbalik. Jas dokter masih melekat di tubuhnya, menandakan jika dirinya nekat bolos dari jam kerja atau alasan telat karena kelaparan di jam makan siang. "Kok kamu gak kerja hari ini?"

"Gue udah izin hari ini gak masuk."

"Kenapa?"

Sebuah tangan tiba-tiba melingkar di pinggang Riska. Rafael melempar senyum kepada Aram dengan bangga, di sampingnya Reina tengah berdiri dengan seonggok kardus mainan dan wajah bete.

"Kepo, ya?" sahut Rafael.

Reina berdecak, kemudian menginjak kaki Rafael dengan kencang. "Sampe kapanpun, Om bukan Ayah Rei!" tegas eina sebelum berjalan melewati Aram menuju teras rumah.

"Maksudnya?" tanya Aram.

Baru saja Riska ingin menajawab, Rafael lebih dulu bersura. Mengangkat tangan kanan Riska juga tangan kanannya, memerkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis mereka. "Sekarang, kita berdua resmi jadi suami-istri. Jadi Aram ... jauh-jauh dari istri saya ya," ujar Rafael dengan nada riang.

Seketika Aram terdiam. Tenggorokkanya tercekat tidak mampu berkata. Riska, yang mengerti keterbungkaman Aram, langsung melepas rengkuhan tangan Rafael. "Mendingan lo balik ke rumah sakit. Gue masuk dulu." Riska berjalan meninggalkan kedua cowok itu dengan wajah datar. Memang, sepulangnya dari KUA, lalu pamit kepada Harris dan Marissa serta keluarta inti Rafael, mood Riska malah terpuruk seperti ini. Lebih buruk daripada Reina.

"Gue juga masuk," ucap Rafael. Namun Aram, menahan bahunya.

"Bukan berarti gue nyerah soal Riska," katanya berbisik.

[2] Ending Scene [Completed]Where stories live. Discover now