Scene 2

2.7K 191 20
                                    

/Antara Kewajiban dan Kewajiban/

Lagi-lagi Aram mendatanginya. Sehari saja bahkan hari libur pun, Aram tak pernah absen untuk menampakkan wajah. Riska pastikan Aram sudah kebal dengan segala kelakuan kejamnya demi melenyapkan seorang penganggu macam dirinya.

"Saya kirim pesan ke kamu, kok gak dibales?" Aram menarik kursi, mendudukan dirinya di hadapan Riska dan meletakkan karangan bunga di atas meja kerja.

Memilih mengabaikan Aram, Riska semakin fokus memeriksa data-data pasien yang akan dioperasi beberapa jam kedepan. Kepalanya sudah penat melihat tumpukan kertas di meja kerja, jangan sampai dirinya ngamuk dan melempar barang-barang ke wajah Aram lantaran diganggu olehnya.

"Kamu lagi sibuk, ya?" Aram mengambil salah satu dokumen yang berada di tumpukan, lalu ikut melihat-lihat seperti yang Riska lakukan.

"Kalo cuma mau ganggu gue, mendingan ke luar dari ruangan. Jangan mancing emosi gue, terus gue lempar sepatu hak gue ke muka lo." Riska meletakkan berkas-berkas dari tangannya lalu berdiri seraya melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya. Berjalan menuju stand hanger, dan melepas jas dokternya untuk digantungkan.

"Kamu mau ke mana?"

"Ke luar."

Aram beranjak dari kursi dan berdiri di belakang Riska yang tengah mengenakan blazer. "Saya boleh ikut?" tanya Aram, memperhatikan tengkuk Riska dari belakang yang sedikit menggoda iman. Bahkan tanpa sadar, wajahnya telah mendekat ingin mengendus dan mencium leher jenjang Riska.

Ketika Riska berbalik, wajah mereka sudah sangat dekat. Karena Riska memakai sepatu hak, wajahnya setara dengan wajah Aram. "Gak bisa mundur?" kata Riska, berusaha setenang mungkin.

Aram yang mengerti keadaan, justru tersenyum bangga dalam hati. Biasanya, wanita tidak bisa berkutik jika telah terpojok seperti sekarang. Berharap Riska hanya diam dengan apa yang ia lakukan nanti.

"Aram, gue bilang mundur," kata Riska lagi memperingatkan.

Aram mengabaikannya, wajahnya semakin dekat memandangi bibir merah Riska yang membuatnya gemas. Rasa-rasanya, setan mulai bersorak gembira saat kepalanya sedikit dimiringkan ingin mencium Riska.

Namun, sebelum bibirnya mendarat ke bibir Riska, sebuah tamparan berhasil menggagalkannya. Belum sempat Aram meringis, tangan Riska lebih dulu menarik kerah bajunya dan membawanya ke luar dari ruangan. Keadaan tadi, benar-benar tidak bisa ditoler lagi. Memang ini bukan pertama kalinya jarak mereka berdekatan seperti tadi, tetapi aksi nekat Aram benar-benar membuatnya gerah dan naik darah.

Setelah melempar Aram ke luar dari ruangan, Riska segera menutup pintu dan kembali duduk di kursi kerjanya. Menarik dan meremas rambutnya, berharap penat akan sedikit hilang.

Sementara di luar, Aram tengah menahan sakit pada wajahnya.

Aram juga seorang dokter. Pertama kali Aram bertemu dengan Riska adalah saat menjadi dokter magang di rumah sakit Riska bekerja saat ini. Waktu itu, mereka mendapat tugas kerjasama untuk pasien operasi jantung. Riska sebagai dokter anastesi, sementara Aram sebagai asisten dokter bedah.

Empat tahun lalu. Aram masih sangat ingat bagaimana tangannya bergetar ketika memegang pisau bedah. Peluh membanjiri lantaran gerogi melakukan pembedahan pertama. Kemudian, Riska berbisik, "Tenang. Ikuti perintah saya."

Aram mengangguk. Lantas, Riska meraih tangan Aram dan mengenggamnya erat, lalu kembali berbisik, "Ambil napas. Bilang dalam hati, kalo kamu seorang dokter. Seorang dokter yang memperbaiki, bukan merusak."

Kala itu, yang ia rasakan bukanlah ketenangan, melainkan detak jantung yang semakin cepat berpacu. Sadar, bahwa saat itu adalah pertemuan sekaligus jatuh cinta pada pandangan pertama. Yang Aram tahu, bahwa kejadian kecil itu lah yang membuatnya berani bermain dengan karakter galak Riska hingga sekarang, meskipun telah dipindahkan ke cabang pusat.

*****

"Mama telat," kata Reina sambil melipat kedua tangannya.

"Rei nunggu lama, ya? Maaf, tadi ada urusan sebentar." Riska merendahkan tubuhnya, berjongkok di depan Reina seraya menangkup wajah Reina. "Kalo gitu, gimana kalo kita jalan bareng? Ke mall mungkin? Beli baju, tas, atau make up?"

Bagi Reina, waktu yang paling berharga adalah menghabiskanya bersama Riska. Karena Riska terlalu sibuk di rumah sakit, Riska hanya bisa izin pada jam makan siang untuk menjemput Reina, bahkan sampai rumah, mereka hanya bertemu saat pagi atau saat Reina tengah mengerjakan tugas sekolah. Biasanya, Dika yang selalu menemani, mengajaknya jalan, atau datang ke acara-acara penting di sekolah selaku wali.

"Ke mall?" tanya Reina.

Riska mengangguk. "Iya. Ajak Arvin juga gak papa. Kita jalan bertiga, gimana?"

"Yaudah, ayuk." Reina segera menarik tangan Riska, namun terhenti ketika ponsel Riska berbunyi.

Riska memandang Reina sebentar sebelum mengangkat panggilan tersebut.

"Darurat? Sekarang?"

"...."

"Oh, iya. Tunggu sebentar, saya segera ke sana."

Setelah mengakhiri panggilan, Riska kembali menatap Reina. Seperti yang diperkirakan, sepertinya tak akan ada waktu bersama dalam waktu dekat ini. Padahal ulang tahun Reina akan tiba dalam beberapa bulan ke depan.

"Rei ...," panggil Riska.

"Yaudah, kalo gitu, Rei tunggu nanti malem di restoran pizza faforit Rei. Mama harus dateng pokoknya. Sekarang Mama pergi ke ruma sakit, biar bisa pulang cepet, nanti Rei minta jemput Om Dika aja."

Reina mendorong tubuh Riska ke depan pintu mobil lalu mengibaskan tangannya, mengisyaratkan agar segera masuk. Riska mengangguk, kemudian masuk, lalu tersenyum seraya melambaikan tangannya setelah membuka kaca mobil.

"Rei tunggu jam tujuh ya, Ma!" teriak Rei ketika mobil Riska mulai bergerak meninggalkan halaman sekolah.

Begitu mobil Riska sudah tak terlihat, Reina langsung mengambil ponsel dari dalam tas dan men-dial nomor Dika dengan terburu-buru.

"Kenapa?"

"Om, jemput Rei sekarang di sekolah! Cepetaannn!!!"

"Gak usah teriak, kuping Om bisa budek! Dasar keponakan kurang ajar! Gak--"

Reina langsung mengakhiri panggilan sebelum Dika selesai bicara, lantas terdiam dan memandangi halaman sekolah yang telah sepi. Beginilah yang ia tidak suka dari kehidupannya; banyak orang yang berada di dekatnya, namun rasanya seperti hidup sendiri yang terus bergantung kepada orang lain. Soal dirinya meminta seorang Ayah, bukanlah main-main lantaran kesal. Tetapi perkataannya waktu itu, memang sesuai fakta terhadap perasaannya.

Peluk sayang,

DAS

[2] Ending Scene [Completed]Where stories live. Discover now