Setelah Reina Pergi

2K 133 52
                                    

Dikarenakan komen tidak mencapai yang diharapkan, jadi saya putuskan untuk mengakhiri perjalanan singkat Arvin-Reina.

*****

Bagi Arvin, Reina adalah segalanya setelah Bunda dan Papa. Mungkin, umur mereka hanya selisih empat bulan, tapi bagi Arvin, Reina adalah sosok kakak perempuan yang selalu menjaganya. Sekalipun Reina kasar, lamun jauh dari apa yang banyak orang lihat, sebenarnya adalah sosok yang lembut. Hatinya mudah menghangat. Dia ..., juga terlalu penakut untuk banyak hal lebih dari Arvin--takut merasa sendiri, dan tidak ada siapapun yang memperhatikannya--. Oleh sebab itu, Reina memelihara kucing, selalu mengacau dan menarik perhatian banyak orang.

Menurut mereka, Reina terlihat merah, dia panas seperti api, selalu meledak-ledak emosinya. Namun Arvin selalu berpikir dan yakin, bahwa Reina hanya berpura-pura menjadi merah. Karena ia, lebih mengenal Reina dibandingkan siapapun, sekalipun Mamanya--Riska--. Reina itu putih menurut Arvin.

Di bawah payung yang menaungi Arvin dari terik matahari, Arvin sesengukan melihat papan nisan bertuliskan nama sahabat perempuannya. Bocah perempuan yang tumbuh bersama dan selalu menemaninya sejak ia lahir ke dunia, hingga dua hari yang lalu.

Dari Malang, bahkan baru sampai sehari yang lalu, Bunda langsung mengajaknya untuk segera pulang ke Jakarta pada malamnya. Bunda bilang, Reina kecelakaan. Sore ia baru sampai, kemudian melihat banyak orang di rumah Reina tengah mengangkut barang-barang. Dika bilang, rumah Reina akan dijual karena tidak ada yang menempati dan merawat.

Saat itu, Arvin masih belum tahu bahwa Reina telah pergi. Selamanya. Begitu Bunda membawanya ke pemakaman, menunjukkan segundukan tanah yang masih basah dan harum, Arvin baru menyadari bahwa sahabatnya telah tiada.

"Aku kan, cuma tinggal sebentar," kata Arvin terisak.

"Pa ... padahal, aku maunya nikah sama Rei. Aku belum bilang suka sama Rei."

"Aku juga sayang sama Rei."

"Aku janji deh, gak bakal jadi anak cengeng lagi. Gak bakal bawel, terus nanya-nanya lagi. Biar Rei gak usah mikirin aku di sana."

"Tapi aku gak janji, tulisan aku bisa jadi bagus, dan gak lelet."

Barulah, Arvin melanjutkan tangisnya. Lebih kencang ketika mengingat bahwa semalam dirinya masih bisa video-callan. Arvin menyesal, kenapa dirinya harus pergi ke Malang? Padahal biasanya, ia tidak pernah ikut, lebih memilih menemani Reina dan menghabiskan liburan bersama. Harusnya, ia tidak pernah meninggalkan Reina, ia bisa menunggu Reina jika Reina butuh waktu bersama Ayah barunya. Tidak apa. Asalkan jangan pergi mendadak seperti ini.

******

Dua minggu telah berlalu. Terkadang, bila Arvin rindu dengan Reina, ia akan sering meratapi foto-foto yang terpajang di kamarnya bersama Reina. Anehnya, setelah Reina pergi, Bunda melatakkan semua foto tentang Reina dari ruang tamu ke kamar Arvin. Bunda bilang, tidak ingin memikirkan yang sudah berlalu, biarlah menjadi kenangan, dan sosok Reina akan selalu terpahat dalam hati. Bukan melupakan, tetapi mengikhlaskan.

Arvin juga belajar agar tidak selalu merenung memikirkan Reina. Berat memang. Biasanya, hari-harinya selalu diisi dengan nyinyiran pedas dari mulut Reina. Namun sekarang, kamarnya terlalu sepi. Sekolah yang biasanya kacau karena keributan Reina dengan Dea, menjadi tenang. Juga, biasanya selalu mampir ke bawah pohon mangga dekat sekolah setelah jam pulang selagi menunggu jemputan, tidak pernah Arvin lakukan lagi karena tak ada teman.

[2] Ending Scene [Completed]Where stories live. Discover now